1.1
Latar
Belakang
Pakan adalah segala
sesuatu yang dapat dimakan, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya dan
bermanfaat bagi ternak, oleh karena itu apa yang disebut pakan adalah segala
sesuatu yang dapat memenuhi persyaratan tersebut di atas dan tidak menimbulkan
keracunan bagi ternak yang memakannya. Kebutuhan pakan terkait erat dengan
jenis ternak, umur ternak, dan tingkat produksi. Konsumsi bahan kering (DW)
pakan ditentukan oleh tubuh ternak. Macam ransum, umur, penyakit, lingkungan,
kondisi ternak dan defisiensi nutrient tertentu. Hijauan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba). Penyediaan hijauan yang
cukup sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi ternak. Maksud
dari cukup adalah cukup secara kuantitas, kualitas maupun kotinuitasnya.
Ketersediaan hijauan pakan saat ini mulai berkurang. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah :
1.
Perubahan fungsi lahan yang dulu sebagai sumber hijauan pakan menjadi lahan
pemukiman, lahan untuk tanaman pangan dan tanaman industri.
2.
Sumberdaya alam untuk peternakan berupa padang penggembalaan diIndonesia
semakin berkurang.
3.
Ketersediaan hijauan juga dipengaruhi oleh iklim, sehingga pada musim
kemarau terjadi kekurangan hijauan pakan ternak dan sebaliknya di musim hujan
jumlahnya melimpah.
Pemanfaatan
hijauan yang mampu bertahan hanya pada musim penghujandan dimusim kemarau susah
untuk didapatkan. Ketersediaan jerami yangmelimpah dan belum termanfaatkan
secara optimal sangat perlu untuk diupayakanagar dapat termanfaatkan dengan
baik. Metode fermentasi dan amoniasi jeramimerupakan usaha untuk mendapatkan
pakan ternak dengan cara mengawetkan jerami tersebut agar tidak kekurangan
pakan saat musim kemarau danmemudahkan ternak untuk mencerna jerami. Pakan
utama ternak ruminansiaadalah hijauan yaitu sekitar 60-70%, akan tetapi karena
ketersediaan pakanhijauan sangat terbatas maka pengembangan peternakan dapat
diintegrasikandengan usaha pertanian sebagai strategi dalam penyediaan pakan
ternak melaluioptimalisasi pemanfaatan limbah pertanian dan limbah agroindustri
pertanian.Pembuatan pakan komplit merupakan usaha untuk memberikan nutrisi
yangdibutuhkan oleh ternak. Uji fisik dilakukan untuk mengetahui seberapa baik
dankuat serta kualitas yang dihasilkan dari pakan.
Teknologi pengolahan pakan merupakan dasar
teknologi untuk mengolah limbah pertanian, perkebunan maupun agroindustri dalam
pemanfaatannya sebagai pakan. Pengolahan pakan disini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas, utamanya efektifitas cerna, utamanya untuk ternak
ruminansia serta peningkatan kandungan protein bahan. Beberapa alternatif
pengolahan dapat dilakukan secara fisik (pencacahan, penggilingan dan atau
pemanasan), kimia (larutan basa dan atau asam kuat), biologis (mikroorganisme
atau enzim) maupun gabungannya. Pengolahan cara fisik dan biologis
memerlukan tenaga dan investasi yang cukup tinggi dan dalam skala besar, sering
kali menjadi tidak berjalan. Cara kimia dengan “amoniasi” dirasa merupakan
cara yang paling tepat dalam pengolahan ini, karena mudah dilakukan, murah,
tidak mencemari lingkungan dan sangat efisien.
Tingginya
konsumsi ternak terhadap pakan membuat para peternak sapi,ayam,kambing maupun
hewan ternak lainnya mencari alternative pakan selain hijauan dan dedak padi
pada umumnya.Para peternak pada saat ini telah menambahkan protein,sumber energi,mineral,dan lain sebagainya. Tentu dengan berbagai jenis pakan yang ada disekitar kita baik dalam bentuk
bungkil maupun limbah dari pertanian dan limbah dari pengolahan tempe dan tahu.
Kebutuhan protein hewani yang kian meningkat, harus diikuti dengan peningkatan
produksi tenak ruminansia sebagai salah satu sumber protein hewani, sebagai
upaya untuk mencapai swasembada daging sapi 2014. Upaya yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan produksi ternak ruminansia diantaranya dengan perbaikan
kualitas bibit ternak (secara genetik), peningkatan mutu pakan ternak, dan
peningkatan kualitas kesehatan ternak.
Seiring dengan
berjalannya waktu, populasi ternak semakin meningkat yang berbanding lurus
dengan meningkatnya jumlah pakan yang harus tersedia. Selain itu, untuk
mencapai produktivitas ternak yang tinggi, selain kualitas genetik harus baik,
kualitas pakan pun harus baik. Akan tetapi, disisi lain jumlah lahan untuk
tanaman pakan semakin menurun seiring dengan bertambahnya populasi manusia. Dan
masalah klasik yang dialami peternak dalam penyediaan pakan dari segi musim
adalah melimpahnya pakan di musim hujan dan berkurangnya pakan di musim
kemarau. Belum lagi kualitas dari pemanfaatan bahan atau material dari ikutan
produk pertanian / agroindustri masih terbilang rendah karena belum semua
kalangan mampu untuk mengolahnya menjadi bahan pakan dengan kualitas baik.
Karena itu, dibutuhkan pengolahan bahan pakan yang baik untuk memenuhi
kebutuhan pakan bagi meningkatnya populasi ternak dan untuk meningkatkan
produktivitas ternak.
1.1
Waktu
dan Tempat
1.1.1
Pembuatan Amoniasi Jerami Padi, Fermentasi dan Silase
Hijauan
Praktikum dilaksanakan
pada hari
Rabu, 31 Mei 2014 pukul 15.00-17.00
WIB. Bertempat di Green House Fakultas peternakan, Universitas Jenderal
Soedirman,
Purwokerto.
1.1.2
Pembuatan
Pakan Komplit Fermentasi dan Pellet
Praktikum dilaksanakan
pada hari
Rabu, 14 Mei 2014 pukul 15.00-17.00
WIB. Bertempat di Green House Fakultas peternakan, Universitas Jenderal
Soedirman,
Purwokerto.
1.1.3
Uji
Fisik Bahan Pakan
Praktikum dilaksanakan
pada hari
Rabu, 21 Mei 2014 pukul 08.45-10.25
WIB. Bertempat di Laboratorium Ilmu Bahan dan Makanan Ternak Fakultas peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
II.
TUJUAN
DAN MANFAAT
2.1
Tujuan
a. Praktikan
dapat melakukan pembuatan silase hijauan.
b. Praktikan
dapat melakukan pembuatan jerami amoniasi.
c. Praktikan
dapat melakukan pembuatan jerami fermentasi.
d. Praktikan
dapat melakukan pembuatan pellet.
e. Praktikan
dapat melakukan pembuatan pakan komplit.
f. Mengetahui nilai sudut tumpukan
yang terkandung dalam suatu bahan pakan.
g. Mengetahui nilai berat jenis yang terkandung
dalam suatu bahan pakan.
h. Mengetahui nilai durability yang terkandung dalam suatu
bahan pakan.
i. Mengetahui nilai hardness yang terkandung dalam suatu
bahan pakan.
j. Mengetahui
perubahan bau, pH, warna dan strutur hasil pengolahan bahan pakan.
2.2
Manfaat
a. Dapat menanggulangi kurang
tersedianya hijauan pakan pada musim kemarau.
b. Dapat
meningkatkan kualitas jerami sebagai bahan pakan.
c. Dapat
menyediakan pakan yang berkualitas untuk hewan ternak.
d. Dapat
mengurangi polusi udara dan air dan juga menekan biaya pakan.
III.
TINJAUAN
PUSTAKA
3.1
Amoniasi
Jerami Padi
Jerami
merupakan bagian dari batang tanaman padi tanpa akar yang dibuang setelah diambil butir buahnya. Jika jerami
padi langsung diberikan kepada
ternak sapi, daya cernanya rendah dan proses pencernaannya lambat,sehingga
total yang dimakan per satuan waktunya menjadi sedikit. Di samping
itu jerami mempunyai nilai gizi jerami yang rendah karena kandungan
proteinnya rendah.
Melalui teknik amoniasi dapat mengubah jerami menjadi pakan ternak yang potensial
dan berkualitas karena melalui amoniasi dapat meningkatkan daya cerna dan meningkatkan kandungan proteinnya (Sofyan,
2007).
Pemanfaatan
jerami padi sebagai pakan ternak sapi potong, kambing, dan domba, agar dapat
berdaya guna dan berhasil guna diperlukan suatu teknologi yang sederhana dan
mudah dalam mengerjakannya, tetapi tetap berkualitas. Teknologi tersebut antara
lain melalui amoniasi. Amoniasi merupakan teknik perlakuan kimiawi dengan
penambahan unsur N dari urea yang ditambahkan pada jerami, sehingga terjadi
poses perombakan struktur jerami yang keras menjadi struktur jerami yang lunak,
untuk meningkatkan daya cerna (digestibility)
dan meningkatkan jumlah jerami yang dimakan (feed intake) oleh sapi (Nevy,2008).
Jerami padi
merupakan salah satu hasil ikutan pertanian terbesar di Indonesia yang jumlahnya kurang lebih 20 juta ton per tahun, produksinya bervariasi sekitar 12 - 15 ton
per hektar atau 4 - 5 ton bahan kering per hektar satukali panen, tergantung
pada lokasi dan jenis varietas tanaman yang digunakan.Sebagian besar jerami
padi tidak dimanfaatkan, karena selalu dibakar setelah proses pemanenan.
Sedangkan di sektor peternakan membutuhkan makanan ternak (pakan) yang harus tersedia sepanjang waktu dan
sepanjang musim untuk menjaga agar produktifitas ternak tidak menurun.
Oleh karena itu, jerami padi sangat
penting untuk dimanfaatkan menjadi makanan ternak ruminansia khususnya sapi
potong, kambing dan domba agar dapat meningkatkan produktivitasnya,
sehingga produksi daging akan meningkat yang akhirnya swasembada daging dapat tercapai (Dwiyanto, 2000).
Meningkatkan
nilai gizi jerami padi ini diperlukan input teknologi yangsampai saat ini terus
dikembangkan dan dikenalkan pada peternak. Ada beberapa cara yang lazim digunakan dalam pengolahan limbah
pertanian diantaranyamelaui perlakuan fisik, kimia dan biologi. Peningkatan
manfaat limbah pertanian dilakukan
dengan peningkatan nilai kecernaanya dan salah satu metoda yang dapat dilakukan untuk tujuan tersebut adalah
pengolahan secara biologis dengan memanfaatkan
mikroorganisme. Teknik fermentasi dan amoniasi yang dipilih berdasarkan
kesederhanaan alat yang dibutuhkan, kemudian kerja dan telah diuji dengan menggunakan ternak. Fermentasi yaitu proses
perombakan dari struktur keras secara fisik, kimia dan biologi sehingga
bahan dari struktur yang komplek menjadi sederhana, sehingga daya cerna
ternak menjadi lebih efisien (Rukmana,2001).
3.2
Jerami
Padi Fermentasi
Masalah utama pemanfaatan jerami sebagai pakan
adalah tersebarnya sumber jerami padi sehingga menyebabkan ongkos transportasi
mahal. Masalah utama lainnya adalah kualitas jerami padi yang rendah. Ikatan
fisik dan ikatan kimia antara selulosa, hemiselulosa, lignin dan silica
(Ranjahan, 1977) serta rendahnya kecernaan (Djajanegara, 1983) merupakan
hambatan utama bagi mikroorganisme rumen dalam memanfaatkan serat kasar jerami
padi. Usaha untuk mengatasi hal tersebut, perlu mempertimbangkan suatu
perlakuan dan pemberian pakan tambahan (suplemen)
yang tepat (Nista, 2007).
Fermentasi merupakan kegiatan mikrobia pada bahan pangan, sehingga dihasilkan
produk yang dikehendaki. Mikrobia yang umumnya terlibat dalam fermentasi adalah
bakteri dan jamur. Fermentasi dapat dilakukan menggunakan kultur murni ataupun
alami serta dengan kultur tunggal ataupun kultur campuran. Fermentasi adalah
proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen).
Secara umum fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan
tetapi terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikanfermentasi sebagai
respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan atau tanpa akseptor elektron
eksternal (Kamal, 1998).
Fermentasi sudah dikenal berabad-abad yang lalu. Secara terbatas masyarakat
hanya mengenal proses fermentasi sebagai pengubahan karbohidrat menjadi
alkohol. Ditinjau dari metabolis bahwa fermentasi merupakan suatu reaksi
oksidasi-reduksi di dalam sintesa biologi, yang menghasilkan energy sebagai
donor dan akseptor elektron. Senyawa organik yang digunakan yaitu karbohidrat
dalam bentuk glukosa. Senyawa ini akan diubah oleh reaksi reduksi dengan
katalis enzim menjadi asam. Selanjutnya fermentasi adalah suatu
proses perubahan kimiawi dari senyawa-senyawa organik karbohidrat, lemak,
protein dan bahan organik lain (Rarumangkay, 2002).
3.3
Silase
Hijauan
Silase adalah awetan hijauan yang dilakukan dengan metode basah. Hijauan
pakan segar yang aan dibuat silase dilayukan terlebih dahulu agar
diperoleh kadar air sekitar 60%. Hijauan
dipotong-potong dengan panjang antara 5-10 cm. Hijauan dimasukkan wadah yang
dinamakan sili dan dipadatkan.Apabila sudah penuh ditutup agar suasana anaerob.
Proses yang terjadi di dalam silo disebut ensilase. Ensilase berjalan
optimum pada minggu ke tiga, karena pada
minggu ke tiga pH hijauan sudah turun mencapai sekitar a ngka 4. Silase yang
baik pada umumnya masih berwarna hajua, sedikit lebih ucat disbanding hijauaan
segarnya, berbau sedikit asam dengan tekstur remah yang tidak menggumpal
(Sutardi, 2012).
Silase adalah hijauan makanan ternak (HMT)
yang diawetkan dengan teknologi fermentasi. Pembuatan silase bertujuan untuk
mengatasi masalah kesulitan penyediaan hijauan makanan ternak pada musim
kemarau. Manfaat pembuatan silase:
1. Persediaan makanan ternak pada musim kemarau.
2. Menampung kelebihan HMT pada musim hujan dan
memanfaatkan secara optimal.
3. Mendayagunakan hasil ikutan dari limbah pertanian
dan perkebunan (Ramli, 2000).
Waktu
penyimpanan silase berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi pakan, kecernaan
bahan kering dan produksi susu (Cushnanhan, dkk, 1996). Lama waktu penyimpanan
berpengaruh terhadap penurunan kandungan ADF, penggunaan aditif molasses
mengalami penurunan dari minggu ke 3 sampai minggu ke 12. Proses ensilase
ketersediaan karbohidrat terlarut sangat banyak sehingga mendorong bakteri asam
laktat akan menyebabkan pH turun seiring dengan aktivitas mikroba dalam proses
fermentasi. Setelah mengalami proses ensilase akan terjadi proses peregangan
dan pemecahan ikatan lignoselulosa sehingga selulosa terpisah dari lignin
(Arif, 2001).
3.4
Pakan
Komplit Fermentasi
Complete
feed adalah suatu teknologi formulasi pakan yang
mencampur semua bahan pakan yang terdiri dari hijauan (limbah
pertanian) dan konsentrat yang dicampur menjadi satu tanpa atau hanya sedikit
tambahan rumput segar. Pakan Komplit adalah ransum berimbang yang telah lengkap
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak, baik untuk pertumbuhan, perawatan
jaringan maupun produksi. (Teguh, 2012). Menurut
Herdian(2006), pakan
complete feed fermentasi adalah pakan
yang dianggap sebagai
pakan dengan
kandungan ransum terlengkap
(Total Mixed Ration). Pakan
ini merupakan pakan
yang memiliki
kandungan lengkap bahan
pakan
yang meliputi
sumber hijauan
dan konsentrat yang dibuat fermentasi.
Pakan komplit dapat
disusun dari bahan campuran limbah agroindustri, limbah pertanian yang belum
dimanfaatkan optimal sehingga ternak tidak perlu diberi hijauan (Mariyono dan
Romjali, 2007). Limbah agroindustri memiliki sifat amba / makan tempat,
kadar komponen serat yang tinggi, kadar air yang tinggi, dan kadar protein yang
rendah (Achmadi, 2010). Dalam pakan komplit, semua bahan pakan, baik bahan
pakan berserat maupun konsentrat dicampur dalam satu bentuk pakan. Pembuatan
pakan komplit berbahan limbah pertanian dan limbah industri pertanian merupakan
salah satu alternatif pemecahan masalah ketidakontinyuan penyediaan bahan pakan
untuk ruminansia (Purbowati, 2008).
3.5
Pembuatan Pellet
Pelet
merupakan bentuk bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari bahan
konsentrat atau hijauan dengan tujuan untuk mengurangi sifat keambaan pakan.
Patrick dan Schaible (1980) menjelaskan keuntungan pakan bentuk pelet adalah
meningkatkan konsumsi dan efisiensi pakan,meningkatkan kadar energi metabolis
pakan, membunuh bakteri patogen, menurunkan jumlah pakan yang tercecer,
memperpanjang lama penyimpanan, menjamin keseimbangan zat-zat
nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin.
Menurut
Stevent (1981) menjelaskan lebih lanjut keuntungan pakan bentuk pelet
adalah 1) meningkatkan densitas pakan sehingga mengurangi keambaan,mengurangi
tempat penyimpanan, menekan biaya transportasi, memudahkan penanganan
dan penyajian pakan; 2) densitas yang tinggi akan meningkatkan konsumsi
pakan dan mengurangi pakan yang tercecer; 3) mencegah de-mixing yaitu penguraian
kembali komponen penyusun pelet sehingga konsumsi pakan sesuai dengan
kebutuhan standar.
Pembuatan
pelet terdiri dari proses pencetakan, pendinginan dan pengeringan. Perlakuan
akhir terdiri dari proses sortasi, pengepakan dan pergudangan. Proses
penting dalam pembuatan pelet adalah pencampuran (mixing), pengaliran uap
(conditioning), pencetakan (extruding) dan pendinginan (cooling).
Proses kondisioning adalah proses
pemanasan dengan uap air pada bahan yang ditujukan untuk gelatinisasi agar
terjadi perekatan antar partikel bahan penyusun sehingga penampakan
peletmenjadi kompak, durasinya mantap, tekstur dan kekerasannya bagus Proses
kondisioning untuk gelatinisasi dan melunakkan bahan agar mempermudah pencetakan.
Disamping itu juga bertujuan untuk membuat : (1) Pakan menjadi steril, terbebas
dari kuman atau bibit penyakit; (2) Menjadikan pati dari bahan baku yang ada
sebagai perekat;(3) Pakan menjadi lebih lunak sehingga ternak mudah mencernanya
dan (4) Menciptakan aroma pakan yang lebih merangsang nafsu makan ternak
(Pujaningsih, 2006).
3.6
Uji
Fisik Bahan Pakan
3.6.1
Berat
Jenis
Berat
jenis atau disebut juga dengan berat spesifik, merupakan perbandingan antara
massa bahan terhadap volumenya dan satuannya adalah gr/ml (Kling, 1983). Berat jenis memegang peranan penting dalam
berbagai proses pengolahan, penanganan dan penyimpanan. Pertama, berat jenis merupakan faktor penentu
dari kerapatan tumpukan. Kedua, berat
jenis juga memberikan pengaruh besar terhadap daya ambang partikel pakan. Ketiga, berat jenis bersama dengan ukuran
partikel bertanggung jawab terhadap homogenitas penyebaran partikel dan
stabilitasnya dalam suatu campuran pakan.
Keempat, berat jenis sangat menentukan tingkat ketelitian dalam proses
penakaran secara otomatis pada pabrik pakan, seperti dalam proses pengemasan
dan pengeluaran bahan dari dalam silo
untuk dicampur atau digiling (Negara, 2001).
Perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang
ditempati oleh bahan tersebut. Alat ukur berat jenis adalah phynometer, galas
ukur. Besar berat jenis dipengaruhi oleh ukuran partikel. Peran berat jenis
adalah sabagai berikut:
a.
Berpengaruh
terhadap besarnya kecepatan tumpukan (spesifik
destiny).
b.
Menentukan
daya ambang.
c.
Besarnya
ukuran partikel berpengaruh terhadap homogenitas dan stabilitas pencampuran.
Dua jenis yang sangant berbeda maka berat jenisnya akan cenderung terpisah kembali
sehingga dalam pencampuran sebaiknya bahan dihaluskan terlebih dahulu.
d. Berpengaruh dalam kecepatan penakaran (Sutardi, 2003).
3.6.2
Sudut
Tumpukan
Menurut Sutardi (2003),
sudut tumpukan adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan bidang miring bahan
yang dicurahkan membentuk gundukan dalam bidang horizontal. Sudut tumpukan
merupakan kriteria kebebasan gerak suatu partikel dalam tumpukan, semakin
tinggi sudut tumpukan, semakin kurang kebebasan gerak suatu partikel. Menurut
Khalil (1997), sudut tumpukan merupakan sudut yang dibentuk oleh bahan pakan
yang diarahkan pada bidang datar. Sudut tumpukan merupakan kriteriakebebasan
bergerak suatu partikel pakan dalam tumpukan dimana semakin tinggi sudut
tumpukan kebebasan bergerak suatu partikel semakin berkurang.
Sudut tumpukan adalah
sudut yang terbentuk jika bahan dicurahkan pada bidang datar melalui sebuah
corong, dengan satuan (o).
Sudut tumpukan ini merupakan kriteria kebebasan gerak partikel dari suatu
tumpukan bahan (Khalil, 1997). Besarnya sudut tumpukan sangat dipengaruhi oleh ukuran, bentuk
dan karakteristik partikel, kandungan air, berat jenis dan kerapatan tumpukan
(Khalil, 1997).
Ukuran
partikel mempengaruhi sudut tumpukan, yaitu semakin kecil ukuran partikel maka
semakin tinggi sudut tumpukannya (Mujnisa, 2007). Kadar air yang semakin
tinggi maka sudut tumpukannya semakin tinggi pula (Syarif,
1993). Sudut tumpukan kecil akan lebih baik jika disimpan dalam wadah (Kling, 1983).
Tujuan mengetahui sifat
fisik bahan pakan yaitu mempermudah penanganan dalam pengangkutan, pengolahan
dan menjaga hemogenitas dan stabilitas saat pencampuran (Lubis, 1993). Khalil (1997) menyatakan bahwa, sudut
tumpukan merupakan sudut yang dibentuk oleh bahan pakan yang diarahkan pada
bidang datar. Sudut tumpukan merupakan kriteria kebebasan bergerak suatu partikel pakan
dalam tumpukan dimana semakin tinggi sudut tumpukan kebebasan bergerak suatu
partikel semakin berkurang.
3.6.3
Hardness
Uji ketahanan benturan dengan menggunakan metode Hardness Test
digunakan untuk mengetahui ketahanan pelet terhadap benturan atau tumbukan pada
saat pengepakan atau proses pengangkutan (Suryanagara, 2006). Uji ini dilakukan
dengan menekan pellet dengan menggunakan hand pellet tester sampai pellet
tersebut retak.
Bakti (2006) menyatakan Pakan pellet bersifat porous
yaitu mudah menyerap air sehingga bila ditempatkan di lingkungan yang lembab, maka
kadar airnya akan meningkat, akibatnya pakan pellet akan mudah ditumbuhi jamur
. Selain itu pellet yang kadar airnya tinggi dan juga yang baru dicetak
teksturnya tidak padat, bila digenggam akan mudah hancur . Sebaliknya pellet
yang kadar airnya rendah (< 15%) memiliki tekstur yang padat, agak keras,
tidak mudah hancur, dan tidak mudah ditumbuhi oleh jamur.
Uji
ketahanan benturan dengan menggunakan metode Hardness Test digunakan
untuk mengetahui ketahanan pelet terhadap benturan atau tumbukan pada saat
pengepakan atau proses pengangkutan (Suryanagara, 2006). Uji ini dilakukan
dengan menekan pellet dengan menggunakan hand pellet tester sampai pellet
tersebut retak.
3.6.4
Durability
Durabilitas pelet
adalah ketahanan partikel pelet yang dirumuskan, sehingga persentase dari
banyaknya pakan pelet utuh setelah melalui perlakuan fisik dalam alat uji
durabilitas terhadap jumlah pakan semula sebelum dimasukkan ke dalam alat
(Dozier, 2001). Durability terkait
dengan berbagai proses dalam pemanfaatan pelet seperti proses transportasi
(pengangkutan), serta pendistribusian pelet yang dihasilkan, oleh karena itu
pengukuran durability pelet penting
dilakukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelet durability adalah (1)
karakteristik bahan baku, dalam hal ini faktor yang dimaksud adalah protein,
lemak, serat, pati, dan density (kepadatan),
tekstur, dan air, serta kestabilan karakteristik bahan akan menghasilkan
kualitas pelet yang baik, dan (2) ukuran partikel (Zain, 2008).
Durability terkait
dengan berbagai proses dalam pemanfaatan pelet seperti proses transportasi
(pengangkutan), serta pendistribusian pelet yang dihasilkan, oleh karena itu
pengukuran durability pelet penting dilakukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pelet durability adalah (1) karakteristik bahan baku, dalam hal ini faktor yang
dimaksud adalah protein, lemak, serat, pati, dan density (kepadatan), tekstur,
dan air, serta kestabilan karakteristik bahan akan menghasilkan kualitas pelet
yang baik, dan (2) ukuran partikel (Zain, 2008).
Pellet
yang baik memiliki indeks ketahanan (PDI) yang baik, sehingga pellet memiliki tingkat kekuatan dan
ketahanan yang baik selama proses penanganan dan transportasi. Standar
spesifikasi durability indeks yang
digunakan adalah minimum 80% (Dozier, 2001).
IV.
MATERI
DAN CARA KERJA
4.1
MATERI
4.1.1
Amoniasi
Jerami Padi
Alat yang digunakan dalam
pembuatan jerami amoniasi yaitu Timbangan kapasitas 10
Kg dan 2 Kg, Kantong plastik bening 1 X 2 Kg, Tali rafia 1 gulung, Golok, Tatakan
kayu, Botol air minum 1,5 liter. Bahan yang digunakan yaitu Jerami Padi 2 Kg, Urea 3%, Air 40%.
4.1.2
Fermentasi
Jerami Padi
Alat yang digunakan
dalam pembuatan fermentasi jerami padi yaitu Timbangan kapasitas 10 Kg dan 2 Kg,
Kantong plastik bening 1 X 2 Kg, Tali rafia 1 gulung, Golok, Tatakan kayu, Botol
air minum 1,5 liter. Bahan yang digunakan yaitu Jerami padi 2 Kg, Dedak Padi 2%,
EM4 0,2%, Air 1 liter, Molases.
4.1.3
Silase
Hijauan
Alat yang diguanakan dalam pembuatan
silase hijauan yaitu Timbangan
kapasitas 10 Kg dan 2 Kg, Kantong plastik bening, Tali rafia 1 gulung, Golok, Tatakan
kayu, Botol air minum 1,5 liter, Ember. Bahan yang digunakan yaitu rumput gajah 4 kg yang dicacah, dedak padi 400 gram, dedak
jagung dan molases 80 gram.
4.1.4
Pakan
Komplit Fermentasi
Alat yang digunakan
dalam pembuatan pakan komplit fermentasi yaitu Timbangan kapasitas 10 Kg dan 2
Kg, Kantong plastik bening, Tali rafia 1 gulung, Golok, Tatakan kayu, Botol air
minum 1,5 liter, Ember. Bahan yang digunakan yaitu Cacahan kulit pisang 1 Kg, Bekatul
600 gram, Ampas Tahu 300 gram, Air 0,1 liter, Tetes 0,6 ml, EM4 5,6 ml, Garam
dapur 0,3 gram.
4.1.5
Pellet
Alat yang digunakan
dalam pembuatan pellet yaitu Timbangan
kapasitas 10 Kg dan 2 Kg, Kantong plastik bening, Tali rafia 1 gulung, Golok, Tatakan
kayu, Botol air minum 1,5 liter. Bahan yang digunakan yaitu Onggok 0,2 Kg, Polard
0,54 Kg, Bungkil Kelapa 0,36 Kg, Dedak Padi 200 gram, Tepung Jagung 100 gram, Mineral
200 gram, Kapur 10 gram, Garam 30 gram, Urea 20 gram, Tepung Kanji 100 gram, Air.
4.1.6
Uji
Fisik Bahan Pakan
4.1.6.1
Berat
Jenis
Alat yang digunakan
dalam uji fisik berat jenis yaitu Timbangan analitik dan gelas ukur. Bahan yang
digunakan yaitu Pellet 10 ml.
4.1.6.2
Sudut
Tumpukan
Alat yang digunakan dalam
uji fisik sudut tumpukan yaitu Corong, Besi penyangga, Timbangan kapasitas 1 kg,
Mistar siku-siku. Bahan yang digunakan
yaitu Pellet 200 gram.
4.1.6.3 Hardness
Alat yang digunakan
dalam uji fisik hardness yaitu Hard pellet tester. Bahan yang digunakan
yaitu Pellet 10 buah.
4.1.6.4
Durrability
Alat yang digunakan dalam uji fisik durrability yaitu mesin durrability, timbangan kapasitas 1 kg,
alat penyaring. Bahan yang digunakan yaitu Pellet
300 gram.
4.2
CARA
KERJA
4.2.1
Amoniasi Jerami Padi
ditimbang jerami padi 2 kg
dan urea 0,06 gram (3%)
urea dilarutkan dengan air 1.5
liter dalam botol
dikocok sampai homogen
jerami dimasukan dalam kantong
plastik bening
ditambahkan urea
plastik diikat tali rafia
ditunggu selama 3 minggu
4.2.2
Fermentasi
Jerami Padi
disiapkan jerami padi 2 kg
ditimbang dedak 0,04 gram (2%)
dilarutkan EM4 0,004 gram (0,2%)
dan molases
jerami dimasukan dalam kantong
plastik bening
ditambahkan dedak dan larutan
EM4 + molases
plastik diikat tali rafia
ditunggu selama 3 minggu
4.2.3
Silase
Hijauan
Dicacah rumput gajah yang sudah dilayukan
Ditimbang 4 Kg
ditimbang dedak jagung 200 gr
dan dedak padi 400 gram
dimasukan rumput gajah ke
dalam ember
ditambah dedak jagung, dedak
padi dan molases
ditutup rapat
4.2.4
Pakan
Komplit Fermentasi
ditimbang cacahan kulit pisang 1 kg
ditimbang ampas tahu 300 gram, bekatul 600gram,
garam dapur 0,3 gram, molases 0,6 ml, EM4 5,6
ml
Campurkan bahan dari yang halus ke yang kasar
Aduk sampai merata
ditambah
air 0,1 liter
Dimasukkan dalam ember
Ditutup
rapat
4.2.5
Pellet
bahan-bahan ditimbang
dicampur semua bahan
diaduk sampai rata
ditambah air sampai semua bahan
dapat merekat
dimasukkan plastik bening
diikat
disteam
dimasukan dalam mesin pellet
dikeringkan
dimasukan dalam wadah
4.2.6
Uji
Fisik Bahan Pakan
4.2.6.1
Berat
Jenis
Gelas Ukur 100 ml ditimbang
Dimasukkan sampel ke gelas ukur
sampai 100 ml
Gelas ukur + sampel ditimbang
Berat
jenis dihitung
4.2.6.2
Sudut
Tumpukan
disiapkan alat dan bahan
dipasang corong
bahan (dedak) ditimbang 200 gr
bahan dituang ke corong
diukur diameter
diukur tinggi curahan
dihitung
sudut tumpukan
4.2.6.3
Hardness
Cincin diposisikan pada angka 0
Pellet ditekan sampai retak
Dilihat
angka pada alat Hard Pellet Tester
4.2.6.4
Durrability
Sampel ditimbang 300 gram
Dimasukkan ke dalam mesin durrability
Mesin dinyalakan selama 10 menit
Dikeluarkan
Diayak
Dihitung
durrability
V.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil
5.1.1
Amoniasi
Jerami Padi
Tabel 1. Hasil
Amoniasi Jerami Padi
Karakteristik
|
Ditambah Urea
|
Warna
|
Kuning
|
Tekstur
|
Remah
|
Struktur
|
Mudah membedakan daun dan batang
|
Kenampakan jamur
|
-
|
PH
|
Asam
|
5.1.2
Fermentasi
Tabel 2. Hasil
Jerami Padi Fermentasi
Karakteristik
|
Tanpa Urea
|
Warna
|
Coklat kekuningan
|
Tekstur
|
Remah
|
Struktur
|
Mudah membedakan daun dan batang
|
Kenampakan jamur
|
Ada jamur
|
PH
|
Asam
|
|
|
5.1.3
Silase
Hijauan
Tabel 3. Hasil
Silase Hijauan
Sifat fisik
|
Sedang
|
Bau
|
Asam
|
Warna
|
Hijau pucat
|
Tekstur
|
Remah
|
Struktur
|
Mudah membedakan daun dan batang
|
PH
|
Asam
|
5.1.4
Pakan
Komplit Fermentasi
Tabel 4. Hasil
Pakan Komplit Fermentasi
Bau
|
Agak Busuk
|
Jamur
|
Tidak ada
|
Warna
|
Coklat
|
5.1.5
Pellet
Tabel 5. Hasil
Pembuatan Pellet
Warna
|
Coklat
|
Tekstur
|
Lunak
|
5.1.6
Uji
Fisik Bahan Pakan
5.1.6.1
Berat
Jenis
Volume gelas ukur = 100
gr
Gelas
ukur kosong (A) =
111 gr
Bahan
dan gelas ukur (B) = 135,5
gr
BJ =
5.1.6.2
Sudut
Tumpukan
Tinggi
= 5,3 cm
Diameter = 20 cm
Berat
sampel = 200 gr
tg α =
α = 27,9 °
5.1.6.3
Hardness
Sampel
|
Kekerasan
|
Sampel 1
|
15
|
Sampel 2
|
15
|
Sampel 3
|
11
|
Sampel 4
|
15
|
Sampel 5
|
15
|
Sampel 6
|
10
|
Sampel 7
|
15
|
Sampel 8
|
15
|
Sampel 9
|
15
|
Sampel 10
|
15
|
Rata rata
|
23,6
|
5.1.6.4
Durability
Durability =
=
Tabel
6. Hasil Kelompok 1-5
Kel
|
Hardness
(lbs)
|
Berat
Jenis
|
ST
(o)
|
Durrability
(%)
|
1
|
14,9
|
0,25
|
22,9
|
50
|
2
|
16,5
|
0,30
|
21,4
|
53
|
3
|
9,9
|
0,31
|
33,7
|
50
|
4
|
17,5
|
0,127
|
23,6
|
41,6
|
5
|
14,2
|
0,245
|
27,9
|
41,6
|
5.2
Pembahasan
5.2.1
Amoniasi
Jerami Padi
Jerami
padi merupakan limbah pertanian yang sangat berlimpah jumlahnya, namun
pemanfaatan dari jerami padi ini belum begitu diaplikasikan. Menurut Sofyan (2007) Jerami
merupakan bagian dari batang tanaman padi tanpa akar yangdibuang setelah
diambil butir buahnya. Jika jerami padi langsung diberikankepada ternak sapi,
daya cernanya rendah dan proses pencernaannya lambat,sehingga total yang
dimakan per satuan waktunya menjadi sedikit. Di samping itu jerami
mempunyai nilai gizi jerami yang rendah karena kandungan proteinnyarendah.
Melalui teknik amoniasi dapat mengubah jerami menjadi pakan ternak yang
potensial dan berkualitas karena melalui amoniasi dapat meningkatkan dayacerna
dan meningkatkan kandungan proteinnya. Pemanfaatan
jerami padi sebagai pakan ternak sapi potong, kambing, dan domba, agar dapat
berdaya guna dan berhasil guna diperlukan suatu teknologi yang sederhana dan
mudah dalam mengerjakannya, tetapi tetap berkualitas. Teknologi tersebut antara
lain melalui amoniasi. Amoniasi merupakan teknik perlakuan kimiawi dengan
penambahan unsur N dari urea yang ditambahkan pada jerami, sehingga terjadi
poses perombakan struktur jerami yang keras menjadi struktur jerami yang lunak,
untuk meningkatkan daya cerna (digestibility) dan meningkatkan jumlah jerami yang
dimakan (feed intake) oleh sapi (Nevy,2008).
Produksi
per hektar sawah padi bisa mencapai 12-15 ton setiap kali panen, tergantung
lokasi dan varietas tanaman. Musim kemarau,
di mana peternak merasa kesulitan dalam mencari hijauan sebagai bahan pakan
ternak ruminansia disebabkan karena menurunnya produksi hijauan pada musim
tersebut. Untuk
mengatasi hal ini peternak biasanya mengganti pakan hijauan dengan menggunakan
limbah pertanian yaitu jerami. Akan tetapi, di dalam
jerami padi mengandung serat yang tinggi, sehingga jerami padi sulit dicerna
oleh tubuh ternak khususnya ternak ruminansia. Menurut Sutrisno (1988)
menyatakan bahwa, jerami padi mengandung protein kasar antara 2-6 % dan energi
40-48 % TDN dengan kandungan lignin dan silikat yang sangat tinggi. Sedangkan
menurut Lamid (2010) mengatakan bahwa, pada umumnya limbah pertanian ini
mempunyai kualitas rendah, karena kandungan proteinnya rendah 3-5% bahan kering
sehingga mempunyai nilai kecernaan yang rendah bila dibandingkan dengan pakan
hijauan.
Amoniasi
merupakan cara pengolahan jerami padi secara kimiawi dengan menggunakan gas
ammonia (NH3). Tujuan
amoniasi adalah menghidrolisis ikatan lignoselulsa dan lignohemiselulosa,
Melarutkan sebagian mineral silikat, meningkatkan
kecernaan, meningkatkan kandungan protein kasar dan menekan pertumbuhan jamur. Gas ammonia bisa diperoleh dari urea (CO(NH2)2), urine, cairan rumen, NH4
OH (Amonium hidroksida) yang dilarutkan
dalam air. CO(NH2)2 digunakan karena memiliki beberapa kelebihan, yaitu mudah diperoleh
dimana-mana, harga relatif murah, pelaksanaannya mudah. Daya kerja NH3
adalah sebagai berikut NH3
berfiksasi dalam jerami sehingga meningkatkan protein kasar. NH3
yang terserap berikatan dengan gugus
asetil membentuk garamammonium asetat, mengandung unsur N sehingga bisa
langsung digunakanoleh mikroba rumen. Memutus ikatan Hidrogen sehingga
meningkatkan fleksibilitas dinding selyang
menyebabkan sel mengembang dan melonggarkan ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa.
Longgarnya ikatan tersebut memudahkan penetrasienzim selulase dan hemiselulase
sehingga meningkatkan daya cerna pakan.Penggunaan urea harus memenuhi takaran
yaitu maksimal 6% dari bahan kering jerami. Takaran yang melebihi 6% akan
menyebabkan keracunan pada ternak. Hal ini dikarenakan urea yang terurai
menjadii ammonia dalam rumen akan masuk ke pembuluh darah, karena jumlahnya
yang banyak makahati tidak mampu mengubah ammonia dengan cepat sehingga
konsentrasiammonia dalam darah meningkat yang akan berpengaruh pada otak dan
akan menyebabkan kematian (Anonim, 2009).
Praktikum yang kita lakukan
dalam pembuatan jerami amoniasi menggunakan urea. Karena urea yang pling mudah
digunakan. Menurut Soedjana (2003) bahwa ada sumber amoniak yang dapat digunakan
dalam proses amoniasi yaitu NH3 dalam bentuk cair, NH4OH
dalam bentuk larutan, dan urea dalam bentuk padat. Penggunaan NH3 gas
yang dicairkan biasanya relatif mahal. Selain harganya mahal, juga memerlukan
tangki khusus, begitu pula dengan NH4OH. Satu-satunya sumber urea
yang murah dan mudah diperoleh adalah urea. Urea yang banyak beredar adalah
urea yang umumnya digunakan sebagai pupuk. Dosis urea yang ditaburkan
pada saat praktikum adala 3% dari bobot 2 kg
jerami kering. Hal ini sesuai dengan pendapat Schiere & Ibrahim (1989) at
Shieddiqi (2005) dosis urea yang ditaburkan ke dalam jerami jumlahnya sekira
4%-6% dari berat jerami. Dengan kata lain, setiap 100 kg jerami padi yang akan
diamoniasi membutuhkan urea sebanyak 4-6 kg. Jika dosis urea yang ditaburkan ke
dalam jerami terlalu banyak, maka urea tersebut tidak akan memberikan pengaruh
signifikan terhadap nilai nutrisi pada jerami. Jerami yang telah ditaburi urea
harus segera dibungkus dengan rapat. Bahan pembungkus yang digunakan biasanya
berupa lembaran plastik dengan ketebalan yang cukup memadai. Pembungkusan ini
sangat penting dilakukan agar tercipta kondisi hampa udara (an-aerob). Proses
amoniasi harus berlangsung tanpa kehadiran udara, sehingga pembungkusan harus
dilakukan secara hati-hati. Untuk mencegah kebocoran, jerami yang telah
ditaburi urea dapat dibungkus dengan lembaran plastik sebanyak dua lapis atau
lebih (Schiere & Ibrahim,1989 at Shieddiqi, 2005).
Perlakuan amoniasi telah terbukti mempunyai pengaruh yang baik
terhadap pakan. Berdasarkan praktikum amoniasi jerami padi, diperoleh
hasil bahwa setelah disimpan selama 3 minggu jerami padi mengalami perubahan,
yaitu warna jerami kuning, remah, lembut teksturnya bila dipegang, antara daun
dan batangnya mudah untuk dibedakan, tidak terdapat jamur dan pH asam serta
baunya asam. Hal ini sesuai pendapat Kusnadi (2000), menyatakan bahwa kualitas
amoniasi jerami padi yang baik, yaitu warnanya kecoklat-coklatan, kering
dan lembut jika dibandingkan dengan asalnya. Hasil amoniasi jerami padi
menunjukkan bahwa praktikum yang dilakukan berhasil, karena sesuai dengan
ketentuan yang ada. Manfaat dari pengolahan amoniasi adalah memotong ikatan
rantai lignoselusosa dan membebaskan sellulosa dan hemisellulosa agar dapat
dimanfaatkan oleh tubuh ternak. Amoniak (NH3) yang berasal dari urea akan
bereaksi dengan jerami padi. Dalam hal ini ikatan tadi lepas diganti mengikat
NH3 , dan sellulosa serta hemisellulosa lepas. Ini semua berakibat pada kecernaan
meningkat, juga kadar protein jerami padi meningkat. NH3 yang terikat berubah
menjadi senyawa sumber protein. Dengan demikian keuntungan amoniasi adalah
kecernaan meningkat, protein jerami meningkat, menghambat pertumbuhan jamur dan
memusnahkan telur cacing yang terdapat dalam jerami. Fungsi amoniak (NH3)
disini adalah sebagai pengubah komposisi dan struktur dinding sel yang berperan
untuk membebaskan ikatan antara lignin dengan selulosa dan hemiselulosa. Hal
ini sejalan dengan pendapat Soejono (1998) yang menyatakan bahwa sama halnya
dengan unsur alakali yang lainya, amoniak menyebabkan perubahan konposisi dan
struktur dinding sel yang berperan untuk membebaskan ikatan antara lignin
dengan selulosa dan heniselulosa. Reaksi kimia yang terjadi (dengan memotong
jembatan hidrogen) menyebabkan mengembangnya jaringan dan meningkatkan
pleksinilitas dinding sel hingga memudahkan penetrasi (penerobosan) oleh enzim
selulase yang dihasilkan oleh mikroba. Jerami padi yang telah diamoniasi
memiliki nilai energi yang lebih besar dibandingkan jerami yang tidak diolah.
Proses amoniasi sangat efektif dalam menghilangkan alfatoksin dalam jerami.
Jerami yang telah diamoniasi akan terbebas dari kontaminasi mikroorganisme jika
jerami tersebut telah diolah dengan mengikuti prosedur yang benar secara
hati-hati.
5.2.2
Jerami
Padi Fermentasi
Jerami padi tanpa diberi perlakuan bila digunakan sebagai pakan ternak
kurang tepat. Menurut Komar (1984), menyatakan bahwa, rendahnya kualitas dari
jerami padi terutama kandungan protein kasar, bila diberikan pada ternak dalam
jumlah yang besar tidak dapat meningkatkan produksi dari ternak tersebut Begitupun pendapat
Sutrisno (1988), bahwa penggunaan jerami padi sebagai makanan ternak masih
kurang bermanfaat karena rendahnya kandungan zat – zat makanannya. Fermentasi
adalah pengawetan dalam bentuk lembab. Menurut Nista (2007), proses fermentasi
merupakan proses anaerob sehingga perlu dihindarkan tindakan yang mengakibatkan
masuknya udara. Fermentasi jerami tidak menggunakan urea, namun menggunakan
dedak padi. Menurut Schlegal (1994), bahwa fermentasi selain membutuhkan unsur
karbon juga membutuhkan unsur-unsur lain seperti nitrogen vitamin dan mineral
dan salah satu bahan yang dapat di gunakan adalah dedak halus, yang merupakan
hasil sampingan dari pengolahan hasil pertanian. Scott (1976) menambahkan
bahwa, kandungan zat gizi dedak halus berdasarkan porsentase bahan kering
terdiri dari protein kasar 12%, lemak kasar 13% dan serat kasar 12%.
Fermentasi adalah segala macam
proses metabolik dengan bantuan enzim
dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan oksidasi,
reduksi, hidrolisa, dan reaksi kimia lainnya sehingga terjadi perubahan kimia
pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu dan menyebabkan
terjadinya perubahan sifat bahan tersebut (Winarno, 1980). Walker (1978)
menyatakan kegunaan enzim di dalam pakan diantaranya:
1.
Memecah atau mengurangi keeratan
ikatan yang terjadi antar serat jaringan pakan sehingga menambah energi.
2.
Merusak molekul antinutrisi yang
mungkin terdapat pada pakan sehingga lebih banyak pakan yang dapat digunakan
yang berarti meningkatkan nilai gizi
3.
Membantu pencernaan ternak atau
hewan yang masih kecil (yang sistem pencernaannya belum sempurna)
4.
Menurunkan jumlah ekskresi kotoran
sehingga menurunkan polusi
Mikroba yang banyak digunakan
sebagai inokulum fermentasi adalah kapang, bakteri, khamir, dan ganggang.
Pemilihan inokulum yang akan digunakan lebih berdasarkan pada komposisi media,
teknik proses, aspek gizi, dan aspek ekonomi (Tannenbeum, dkk., 1975). Fermentasi
dilakukan dengan cara menambahkan bahan mengandung mikroba proteolitik,
lignolitik, selulolitik, lipolitik, dan bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik
(contohnya: starbio, starbioplus, EM-4, dan lain-lain).
Berdasarkan praktikum pembuatan jerami fermentasi,
diperoleh hasil bahwa setelah disimpan selama 3 minggu jerami tersebut
mengalami perubahan baik fisik maupun struktur di dalamnya. Dilihat dari
fisiknya jerami mengalami perubahan pada warna coklat kekuningan, bila dipegang
teksturnya lembut, bau agak busuk, antara daun dan batang mudah dibedakan,
terdapat jamur. Menurut Kusnadi (2000), menyatakan bahwa hasil
fermentasi jerami padi yang baik mempunyai ciri-ciri yaitu warna kuning agak
kecoklatan, bila dipegang teksturnya lembut, bau tidak busuk, tidak berjamur, baunya
agak harum. Terdapat perbedaan pada ada tidaknya jamur, hasil fermentasi jerami
menunnjukkan adanya jamur putih pada permukaan jerami, namun menurut Kusnadi
(2000), menyatakan bahwa kualitas jerami fermentasi yang baik yaitu tidak
terdapat jamur. Hal ini dapat disebabkan karena kurang rapat saat membungkus
jerami, sehingga masih terdapat udara didalamnya yang akan mempermudah mikroba
atau bakteri untuk berkembang.
Sedangkan untuk struktur dalamnya untuk pH yaitu
asam, protein kasar naik dari 3,50% menjadi 7,02%, serat kasar turun dari 35%
menjadi 25,95%. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan jerami fermentasi dapat
meningkatkan kualitas pakan. Menurut Daryanti (2002), pembuatan jerami
fermentasi akan mengubah struktur jerami padi, sehingga menjadi lebih mudah
dicerna, karena proses fermentasi dapat meningkatkan degradabilitas partikel
lignoselulosa, hemiselulosa, di samping itu perubahan starter dapat berfungsi
sebagai sumber protein bagi ternak yang mengkonsumsi.
5.2.3
Silaese
Hijauan
Silase hijauan adalah
awetan hijauan yang difermentasi. Sesuai dengan pendapat Rukmana (2001) yang
mengemukakan bahwa silase dapat didefinisikan sebagai hijauan pakan segar yang
disimpan dalam satu tempat yang kedap udara (anaerob). Sedangkan menurut Nevy
(2008) silase adalah bahan pakan ternak berupa hijauan (rumput-rumputan dan
leguminosa) yang disimpan dalam bentuk segar mengalami proses ensilase. Tujuan
utama pembuatan silase adalah untuk memaksimumkan pengawetan kandungan nutrisi
yang terdapat pada hijauan atau bahan pakan ternak lainnya, agar bisa di
disimpan dalam kurun waktu yang lama, untuk kemudian di berikan sebagai pakan
bagi ternak. Sehingga dapat mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan
pada musim kemarau (Toni, 2008). Sedangkan menurut Darmono (1993) tujuan
pembuatan silase antara lain untuk mengatasi kekurangan makanan ternak pada
musim kemarau atau musim paceklik, untuk menampung kelebihan produksi hijauan
pakan ternak atau memanfaatkan hijauan pada saat pertumbuhan terbaik tetapi
belum dimanfaatkan.
Silase
hijauan membutuhkan waktu 3 minggu, agar hasil yang diperoleh maksimal. Menurut
Cushnanhan (1996) bahwa waktu penyimpanan silase berpengaruh terhadap
peningkatan konsumsi pakan, kecernaan bahan kering dan produksi susu. Menurut
Arif (2001) menyatakan bahwa, lama waktu penyimpanan berpengaruh terhadap
penurunan kandungan ADF, penggunaan aditif molasses mengalami penurunan dari
minggu ke 3 sampai minggu ke 12. Proses ensilase ketersediaan karbohidrat
terlarut sangat banyak sehingga mendorong bakteri asam laktat akan menyebabkan
pH turun seiring dengan aktivitas mikroba dalam proses fermentasi. Setelah
mengalami proses ensilase akan terjadi proses peregangan dan pemecahan ikatan
lignoselulosa sehingga selulosa terpisah dari lignin.
Berdasarkan pembuatan
silase hijauan, diperoleh hasil setelah silase disimpan selama 3 minggu
mengalami perubahan yaitu bau asam, warna hijau pucat, teksturnya remah dan lembut
bila dipegang dan pH-nya asam. Menurut Kusnadi (2000) menyatakan bahwa, silase
yang baik adalah bau agak
wangi, rasanya manis dan sedikit asam, warnanya hijau kekuning-kuningan,
tidak berjamur, waktu dibuka suhu tidak panas (kurang 30o), apabila dipegang kering dan teksturnya lembut, tidak menggumpal, PH berkisar antara 4 – 4,5 dan kandungan gizi tidak berkurang bahkan bertambah.
5.2.4
Pakan
Komplit Fermentasi
Complete
Feed adalah suatu teknologi formulasi pakan yang mencampur semua bahan pakan
yang terdiri dari hijauan ( limbah pertanian ) dan konsentrat yang dicampur
menjadi satu tanpa atau hanya sedikit tambahan rumput segar. Pakan Komplit
adalah ransum berimbang yang telah lengkap untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
ternak, baik untuk pertumbuhan, perawatan jaringan maupun produksi. Dalam
pemberiannya, ransum ini tidak memerlukan tambahan apapun kecuali air minum.
Dengan pemberian pakan komplit, lebih praktis dan sangat menghemat tenaga kerja
serta petani tidak perlu lagi setiap hari mencari rumput (Teguh, 2012).
Teknologi pakan lengkap (complete feed) merupakan salah satu metode/ teknik
pembuatan pakan yang digunakan untuk meningkatkan pemanfaatan limbah pertanian
dan limbah agroindustri melalui proses pengolahan dengan perlakuan fisik dan
perlakuan suplementasi untuk produksi pakan ternak ruminansia. Proses
pengolahannya meliputi pemotongan untuk merubah ukuran partikel bahan,
pengeringan, penggilingan/ penghancuran, pencampuran antara bahan serat dan
konsentrat yang berupa padatan maupun cairan, serta pengemasan produk akhir (Hardianto,
2000).
Pakan komplit, semua bahan pakan, baik bahan pakan
berserat maupun konsentrat dicampur dalam satu bentuk pakan. Penyusunan pakan komplit yang
penting diperhatikan adalah kandungan nutrien dari pakan komplit itu sendiri.
Agar pakan komplit dapat diiberikan sebagai pakan tunggal tanpa adanya bahan
tambahan lain, maka kandungan nutrien yang terdapat pada pakan komplit harus
dapat mencukupi kebutuhan ternak. Reddy (1988) menyatakan bahwa, kisaran
kandugan zat makanan pakan lengkap adalah; bahan organik 74-95,9%, protein
kasar 9,2-16%, serat kasar 12,2-29%, lemak kasar 1,5-6,8%. Pakan komplit fermentasi dapat meningkatkan
efektifitas dan efisiensi pakan ternak, mempermdah dalam pemberian pakan,
transportasi dan penyediaan/stok pakan. Menurut Purbowati (2008) pembuatan
pakan komplit berbahan limbah pertanian dan limbah industri pertanian merupakan
salah satu alternatif pemecahan masalah ketidakontinyuan penyediaan bahan pakan
untuk ruminansia.
Molasess digunakan sebagai bahan pakan karena
banyak mengandung karbohidrat sebagai sumber energi dan mineral. Molasses
memiliki kandungan protein kasar 3,1%; serat kasar 0,6%; BETN 83,5%; lemak kasar
0,9%; dan abu 11,9%. Maryati (2008) menyatakan bahwa molasses mampu menurunkan
kadar amoniak dan meningkatkan kecernaan pakan. Molasses dapat digunakan
sebagai sumber karbohidrat fermentable karena masih mengandung kadar
gula 48-58% sehingga dapat menurunkan NH3 yang terbuang. Hasill
praktikum menunjukkan pakan komplit berbau busuk dan warnanya coklat, hal ini dikarenakan pada
waktu mencampur bahan terlalu banyak air yang diberikan, sehingga
mikroorganisme mudah tumbuh yang menyebabkan pembusukan pada pakan komplit
tersebut.
5.2.5
Pellet
Pelet merupakan bentuk bahan pakan
yang dipadatkan sedemikian rupa dari bahan konsentrat atau hijauan dengan
tujuan untuk mengurangi sifat keambaan pakan. Keuntungan pakan bentuk pelet
adalah meningkatkan konsumsi dan efisiensi pakan,meningkatkan kadar energi
metabolis pakan, membunuh bakteri patogen, menurunkan jumlah pakan yang
tercecer, memperpanjang lama penyimpanan, menjamin keseimbangan zat-zat
nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin. Keuntungan pakan bentuk pelet adalah
meningkatkan densitas pakan sehingga mengurangi keambaan,mengurangi tempat
penyimpanan, menekan biaya transportasi, memudahkan penanganan
dan penyajian pakan; densitas yang tinggi akan meningkatkan konsumsi pakan
dan mengurangi pakan yang tercecer; mencegah de-mixing yaitu peruraian kembali komponen penyusun pelet
sehingga konsumsi pakan sesuai dengan kebutuhan standar.
Pellet dibuat secara
mekanis, proses pembuatan pellet yang kami lakukan dengan cara mencampur
formula pakan secara merata yang sudah timbang, kemudian steam campuran pakan sampai keluar gel (gelatin) dalam, setelah itu
dimasukkan dalam mesin pellet (pelletizer) yang berguna mencetak pakan tersebut,
terakhir pellet yang sudah dicetak dikeringkan dibawah sinar matahari. Menurut Tjokroadikusoemo
(1989), umumnya proses pengolahan pelet terdiri dari 3 tahap, yaitu 1)
pengolahan pendahuluan meliputi pencacahan, pengeringan dan penghancuran
menjadi tepung, 2) Pembuatan pelet meliputi pencetakan, pendinginan dan pengeringan,
3) Perlakuan akhir meliputi sortasi, pengepakan dan penggudangan. Sedangkan
menurut Krisnan (2009), secara ringkas tahapan pebuatan pelet sebenarnya hanya meliputi
beberapa proses penting yaitu pencampuran (mixing), pengaliran uap (conditioning),
pencetakan (extruding) dan pendinginan (cooling).
Berdasarkan praktikum pembuatan pellet, diperoleh
hasil bahwa pellet yang telah dibuat berbentuk kapsul, namun warnanya coklat
dan teksturnya tidak keras (agak lembek). Hal ini disebabkan karena pada saat
menjemur dibawah sinar matahari pellet belum diratakan, sehingga masih banyak
yang menumpuk yang menyebabkan pellet bagian bawah lembab dan mikroorganisme
mudah berkembang. Selain itu pada saat pengeringan tidak dilakukan pengecekan
terhadap cuaca, sehingga pada saat hujan pellet yang sedang dikeringkan terkena
air hujan, hal inilah yang membuat pellet tidak kering.
5.2.6
Uji
Fisik Bahan Pakan
5.2.6.1
Berat
Jenis
Berat
jenis atau disebut juga dengan berat spesifik, merupakan perbandingan antara
massa bahan terhadap volumenya dan satuannya adalah gr/ml (Kling, 1983). Berat
jenis memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan dan
penyimpanan. Pertama, berat jenis
merupakan faktor penentu dari kerapatan tumpukan. Kedua, berat jenis juga memberikan pengaruh
besar terhadap daya ambang partikel pakan.
Ketiga, berat jenis bersama dengan ukuran partikel bertanggung jawab
terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran
pakan. Keempat, berat jenis sangat
menentukan tingkat ketelitian dalam proses penakaran secara otomatis pada
pabrik pakan, seperti dalam proses pengemasan dan pengeluaran bahan dari dalam silo untuk dicampur atau digiling
(Negara, 2001).
Sifat
fisik pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan laju aliran
digesta rumen. Oleh karena itu evaluasi sifat fisik terhadap bahan pakan yang
berasal dari limbah perkebunan untuk dijadikan ransum agar formulasi ransum
yang disusun sesuai dengan sifat bahan yang digunakan.Sifat fisik (keambaan,
daya serap air, dan kelarutan) sangat erat kaitannya dengan degrabilitas dan fermentabilitas bahan pakan tersebut di dalam rumen (Sutardi, 2003).
Berat jenis
merupakan sifat yang umum dimiliki oleh pakan berserat. Semakin tinggi keambaan
suatu bahan pakan semakin tinggi kandungan seratnya. Ternak yang mengkonsumsi
ransum dengan keambaan tinggi akan cepat merasa kenyang, sedangkan kebutuhan
nutrisinya belum terpenuhi (Suparjo, 2008).
Berdasarkan
hasil uji fisik terhadap berat jenis pellet diperoleh hasil 0,24 gr/ml. Hasil ini kurang sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Retnani (2011), menyatakan bahwa rataan berat jenis bahan
pakan adalah 1,27 – 1,40 gr/ml. Nilai
berat jenis pellet yang digunakan dalam praktikum menunjukkan kurangnya tingkat
kemudahan yang setara dalam pengangkutan dan kapasitas ruang penyimpanan. Syarifudin (2001) menambahkan, semakin tinggi
berat jenis, maka akan semakin meningkatkan kapasitas ruang penyimpanan dan
memudahkan pengangkutan.
5.2.6.2
Sudut
Tumpukan
Khalil (1997),
menyatakan bahwa Pellet merupakan bentuk bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari bahan
konsentratatau hijauan dengan tujuan untuk mengurangi sifat keambaan pakan. Sudut
tumpukan menurut Thompson (1993),
merupakan
kriteria kebebasan bergerak satu partikel pakan dalam tumpkan. Semakin tinggi
tumpkan, maka semakin kurang bebas suatu partikel bergerak dalam tumpukan.
Sudut tumpukan berperan antara lain dalam menentukan flowabivity (kemampuan mengalir suatu bahan, efisiensi pada
pengankutan atau pemindahan secara mekanik, ketepatan dalam penimbangan dan
kerapatan kepadatan tumpukan. Menurut Qomariah (2004), sudut tumpukan merupakan
sudut antara bidang datar dengan kemiringan tumpukan, yang terbentuk jika bahan
dihancurkan serta menunjukan kriteria
kebebasan bergerak partikel dari suatu tumpukan bahan. Semakin bebas suatu
partikel bergerak, maka sudut tumpuk yang terbentuk juga semakin kecil.
Pergerakan partikel yang ideal ditunjukan oleh ransum bentuk cair, dengan sudut
tumpukan berkisar 20°-50°.
Sudut tumpukan
merupakan faktor yang mempengaruhi homogenitas campuran. Perbedaan keragaman
ukuran materi dalam campuran dapat mengakibatkan pemisahan secara nyata apabila
materi mempunyai perbedaan sudut tumpukan (Axe, 1995). Pakan bentuk padat mempunyai sudut tumpukan berkisar antara 20o dan
50o (Khalil, 1997). Besarnya sudut tumpukan sangat
dipengaruhi oleh ukuran, bentuk dan karakteristik partikel, kandungan air,
berat jenis dan kerapatan tumpukan (Khalil, 1997).
Mujnisa (2007) menambahkan, bahwa ukuran partikel mempengaruhi sudut
tumpukan, yaitu semakin kecil ukuran partikel maka semakin tinggi sudut
tumpukannya. Menurut Syarif (1993),
bahwa kadar air yang semakin tinggi maka sudut tumpukannya semakin tinggi pula. Maka menurut Kling (1983), bahwa sudut
tumpukan kecil akan lebih baik jika disimpan dalam wadah.
Berdasarkan
hasil uji fisik yang telah dilakukan, pellet mempunyai sudut tumpukan sebesar 27,9o. Hasil ini sesuai dengan pendapat Khalil (1997), bahwa pakan bentuk
padat memiliki sudut tumpukan berkisar antara 20o – 50o. Hal ini berarti bahwa dedak memiliki sifat
yang mudah dituang ke wadah lain, karena sudut tumpukan pellet yang diharapkan
dalam proses pengolahan pada industri pakan adalah sudut tumpukan yang kecil
(Saenab, 2010). Begitupun menurut Fasina dan Sokhansanj (1993), menyatakan
bahwa besarnya sudut tumpukan antara 25o-30o mempunyai
sifat sangat mudah mengalir. Untuk hasil kelompok 3 dan 8 berturut-turut 33,7o
dan 30,26o menunjukkan ketidaksesuaian dengan ketentuan bahwa sudut
tumpukan yang baik berkisar antara 25-30o. Hal ini dapat disebabkan
karena kurang teliti dalam melakukan uji fisik bahan pakan khususnya sudut
tumpukan.
5.2.6.3
Hardness
Pengujian Kekerasan
atau Hardness
Tester adalah satu dari sekian banyak
pengujian yang dipakai, karena dapat dilaksanakan pada benda uji yang kecil
tanpa kesukaran mengenai spesifikasi.
Kekerasan
(Hardness) adalah salah satu sifat
mekanik (Mechanical properties) dari suatu material. Pengujian yang paling
banyak dipakai adalah dengan menekankan penekan tertentu kepada benda uji
dengan beban tertentu dan dengan mengukur ukuran bekas penekanan yang terbentuk
diatasnya, cara ini dinamakan cara kekerasan dengan penekanan. Kekerasan juga
didefinisikan sebagai kemampuan suatu material untuk menahan beban identasi
atau penetrasi atau penekanan (Abu bakar, 2007).
Praktikum uji hardness diperoleh hasil dari sampel
1-10 adalah 15 gr, 15 gr, 11 gr, 15 gr, 15 gr, 10 gr, 18 gr, 12 gr, 11 gr, 20
gr dengan hasil rata-rata 3,2 gram. Uji hardeness
(kekerasan) dilakukan pada 10 sampel pelet yang hasilnya dirat-rata. Dalam
praktikum dijelaskan uji kekerasan pelet yang baik memiliki nilai sekitar
14-20. Kekerasan pelet sangat dipengaruhi oleh kadar air dan proses penjemuran.
Bila pada proses penjemuran pada pelet tidak baik, maka pelet akan mudah hancur
dan pelet lebih memiliki sifat lembut bukan keras. Hal ini didukung oleh
pernyataan oleh Bakti (2006) bahwa Pakan pellet bersifat porous yaitu mudah
menyerap air sehingga bila ditempatkan di lingkungan yang lembab, maka kadar
airnya akan meningkat, akibatnya pakan pellet akan mudah ditumbuhi jamur .
Selain itu pellet yang kadar airnya tinggi dan juga yang baru dicetak
teksturnya tidak padat, bila digenggam akan mudah hancur . Sebaliknya pellet
yang kadar airnya rendah (< 15%) memiliki tekstur yang padat, agak keras,
tidak mudah hancur, dan tidak mudah ditumbuhi oleh jamur. Kadar air pellet bisa
diturunkan dengan cara pengeringan dengan sinar matahari atau alat pengering. Selanjutnya
pellet yang sudah kering dengan kadar air < 15%, jika kemasan dan
penempatannya benar maka kualitas dan kuantitas pellet akan tetap terjaga dalam
waktu yang relatif lama.
Berdasarkan hasil
praktikum, pelet memiliki tekstur tidak keras dan lebih cenderung lembut. Hal
ini disebabkan oleh faktor pengeringan yang kami lakukan, dengan menggunakan
alas plastik yang sifatnya tidak bisa menyerap air. Sehingga air yang ada pada
plastik tidak bisa mengalir, dan mikroorganisme pun akan mudah berkembang biak
yang nantinya menyebabkan tumbuhnya jamur. Seharusnya alas yang baik yang
terbuat dari seng atau bahan penghantar panas lainnya yang dapat mengurangi
kadar air pada alas tersebut.
5.2.6.4
Durrability
Durabilitas pellet adalah ketahanan partikel pellet yang dirumuskan sebagai
persentase dari banyaknya pakan pellet
utuh setelah melalui perlakuan fisik dalam alat uji tumbling cane terhadap
jumlah pakan semula sebelum dimasukkan ke dalam alat. Pellet yang baik mempunyai durabilitas di atas 90 % atau kandungan
tepung di bawah 10 %. Nilai durabilitas pellet
sangat ditentukan oleh penggunaan bahan baku dalam formulasi pakan dan teknis
operasional pellet mill. Memperoleh durabilitas tinggi
digunakan bahan baku yang mempunyai pelletabilitas
tinggi, sebagai contoh jagung bernilai sedang, katul bernilai rendah, dan wheat
pollard bernilai tinggi. Apabila perhitungan formulasi least cost tidak
memungkinkan maka biasa ditambahkan binder (perekat sintetis) untukmeningkatkan
durabilitas. Penyesuaian teknis operasional pelleting
dapat mempengaruhi durabilitas yaitu penggunaan ukuran die yang tepat (diameter
dan compression ratio atau
perbandingan antara panjang lubang efektif terhadap ketebalan die), kombinasi steam conditioner dan kecepatan feeder
yang efektif, kerja cooler pendingin yang optimal dan lain-lain.Uji durabilitas
menggunakan tumbling cane. Terbaik
dilakukan segera setelah bahan pellet
melewati cooler pada saat suhu partikel sudah dianggap dingin. Apabila nilai
durabilitas diperoleh dari perlakuan setelah 1 jam sejak cooling maka hasil 95 harus dituliskan sebagai (95). Apabila uji
dilakukan sebelum cooler maka nilai durabilitas akan lebih kecil disebabkan
oleh adanya penguapan kandungan air. (Abu bakar, 2007).
Durability terkait
dengan berbagai proses dalam pemanfaatan pelet seperti proses transportasi
(pengangkutan), serta pendistribusian pelet yang dihasilkan, oleh karena itu
pengukuran durability pelet penting dilakukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pelet durability adalah (1) karakteristik bahan baku, dalam hal ini faktor yang
dimaksud adalah protein, lemak, serat, pati, dan density (kepadatan), tekstur,
dan air, serta kestabilan karakteristik bahan akan menghasilkan kualitas pelet
yang baik, dan (2) ukuran partikel (Zain, 2008).
Dalam praktikum durability ini digunakan mesin durability yang berguna untuk
menghaluskan pelet selamat 10 menit yang nantinya diayak, dan dihitung durability. Hasil yang didapatkan saat
praktikum nilai durability 41,6%
sedangkan rata-rata semua kelompok dari kelompok 1-5 didapatkan hasil 14,6%. Hasil
ini masih jauh dikatakan pelet yang baik, dikarenakan pelet yang baik menurut
Dozier (2001), yaitu memiliki indeks ketahanan (PDI) yang baik, sehingga pelet
memiliki tingkat kekuatan dan ketahanan yang baik selama proses penanganan dan
transportasi. Standar spesifikasi durability
indeks yang digunakan adalah minimum 80%. Kurangnya nilai durability dalam pelet ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain oleh bahan baku pembuatan dan proses pembuatan pelet.
VI.
KESIMPULAN
DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
6.1.1
Silase adalah
awetan pakan hijauan bentuk segar dengan kadar air 60 % - 70 %, yang disimpan
dalam ruang penyimpanan ( silo ) kedap udara dalam kondisi anaerob dan suasana
asam.
6.1.2
Proses amoniasi
dapat meningkatkan kadar protein kasar sampai dua kali lipat, dapat disimpan
tahan lama dan dapat sebagai pengawet.
6.1.3
Complete feed
adalah pakan yang disusun dari berbagai macam bahan pakan sehingga mempunyai
kandungan nutrient sesuai dengan kebutuhan ternak.
6.1.4
Pellet dan
fermentated complet feed merupakan pakan yang dibuat untuk tujuan meningkatkan
kecernaan dan nutrient.
6.1.5
Uji fisik
dilakukan untuk menguji bahan pakan dalam bentuk kekerasaan bahan pakan,
kehalusan, kekuatan bahan pakan.
6.2
Saran
6.2.1
Kerjasama antara
praktikan dengan asisten lebih ditingkatkan, agar tidak terjadi kesalahan dalam
melakukan praktikum dan praktikum dilaksanakan sesuai waktu yang telah
ditentukan.
6.2.2
Saat melakukan
praktikum harus lebih hati-hati sesuai dengan prosedur yang diajarkan.
6.2.3
Asisten sebaiknya lebih
peka terhadap praktikan yang kurang aktif.
6.2.4
Alat-alat untuk
praktikum lebih dilengkapi lagi dan tersedia dalam jumlah yang memadai.
6.2.5
Ketika melakukan
pengeringan dengan oven dan pengabuan dengan tanur, suhu dan waktu disesuaikan
dengan ketentuan yang ada agar hasil sesuai dengan standar yang telah ada.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu
bakar. 2007. Teknologi Pengolahan
Pakan Sapi. Deptan
Dirjen
Peternakan Sembawa :
Palembang.
Achmadi, J. 2010. Pengembangan Pakan Ternak Ruminansia :
Menggagas Lumbung Pakan Berbasis Hasil Samping Tanaman Pangan. Disampaikan
pada Apresiasi Budidaya Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Yogyakarta. 14 - 15 Desember 2010.
Arif,
R. 2001. “Pengaruh
Penggunaan Jerami Pada Amoniasi Terhadap Daya Cerna NDF dan ADF Dalam Ransum
Domba Lokal”. Jurnal Agroland Vol. 2 : 208-215.
Axe,
D. E. 1995. Factors Affecting Uniformity
of a Milk. Mailinkrodt Feed Ingredients. Mundelain.
Bakti,
Agus Setya. 2006. Pengering Pakan Pellet
dengan Alat Pengering Buatan. Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional
Pertanian 2006.
Cushnahsan,
A.C, S. Mayne, E. A. Goodball, and E.F. Unsworth. 1996.” Effects Of Stage Of
Maturity and Period Of Ensilage on Production and Utilization of Grass Silage
By Dairy cows”. In: D.I.H. Jones, R.
Jones, R. Dewshurts, R Merny, and P.M. Haigh (eds). Prosceeding of The 11th
International Silage Conference, IGER Averystwyth: 78-79.
Darmono. 1993. Tatalaksana
Usaha Sapi Kereman. Kanisius
: Yogyakarta.
Daryanti,
S. 2002. Respon Produksi Sapi Peranakan
Ongole (PO) Terhadap Aras Pemberian Konsentrat Dan Pakan Basal Jerami Padi
Fermentasi. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
Djajanegara,
A. 1983. Tinjauan Ulang Mengenai Evaluasi
Suplemen pada Jerami Padi. Prosiding
Seminar Pemanfaatan Limbah Pangan dan Limbah Pertanian untuk Makanan Ternak. Lembaga Kimia
Nasional LIPI. Bandung.
Dwiyanto, K. Dan B. Haryanto. 2002.
Pakan Alternatif Untuk Pengembangan Peternakan Rakyat. Rakor Pengembangan Model Kawasan Agribisnis Jagung Ta 2002. Direktorat
Jenderal Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian, Jakarta 29 April 2002.
Fasina,
O. O. & S. Sokhansanj. 1993. “Effect
of moisture content on bullhandling properties of alfalfa pellets”. Canadian Agric. Engine. 35 (4): 269-279
(Abstr.).
Hardianto.
R,. 2000.” Teknologi Complete Feed Sebagai Alternatif Pakan Ternak Ruminansia”.
Makalah BPTP Jawa Timur. Malang.
Herdian, Hendra. Dkk. 2006. Pengaruh Proses Pelleting Terhadap
Peningkatan Kualitas Pakan Ternak Ruminansia. Upt Balai Pengembangan Proses Dan Teknologi
Kimia-Lipi :
Yogyakarta.
Kamal, M. 1998. Bahan
Pakan dan Ransum Ternak. Laboratorium Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Khalil. 1997. Pengolahan Sumberdaya
Pakan dan Ransum Ternak. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kling,
M and W. Woehlbier. 1983. Handelsfuttermittel,
Barat 2A. Verlag Eugen Ulmer, Sttutgar.
Krisnan,
Rentan dan Ginting, S.P. 2009.” Penggunaan
Solid Ex-decanter sebagai perekat pembuatan pakan komplit berbentuk pelet :
Evaluasi fisik pakan komplit berbentuk pellet”.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner 2009.
Komar, A. 1984. Teknologi Pengolahan Jerami sebagai Makanan
Ternak. Yayasan Dian Grahita. Jakarta.
Lamid,
Mirni. 2010. “Konsentrasi
VFA Dan Proporsi Molar Asetat, Propionat, Butirat Rumen Sapi Peranakan Ongole
Yang Diberi Jerami Padi Amoniasi, Jerami Kedelai Dan Jerami Padi”. Veterinaria medika Vol.3 No.3. Fakultas Kedokteran Hewan
UNAIR. Diunduh Tanggal: 11 Maret 2014 Pukul: 19.52 WIB.
Lubis. 1993. Ilmu Makanan Ternak.IPB : Bogor.
Mariyono dan E. Romjali. 2007. Petunjuk Teknis Teknologi Inovasi ‘Pakan
Murah’ untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Loka Penelitian Sapi Potong, Grati.
Maryati,
B. A. 2008. Beternak Sapi Potong.
Kanisius. Yogyakarta.
Mujnisa,
A. 2007. Uji sifat fisik jagung giling
pada berbagai ukuran partikel. Buletin
Nutrisi dan Makanan Ternak, 6(1): 1-9.
Negara,
M. H. P. 2001. Uji Sifat Fisik Bentuk
Ransum Ayam Broiler Yang Berbeda pada Lama Penyimpanan Enam Minggu.
Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Nevy, Hanafi D. 2008. Teknologi Pengawetan Pakan
Ternak. USU Respository
:
Medan.
Nista, Delly,dkk. 2007. Teknologi Pengolahan Pakan. BPTU. Palembang .
Patrick dan schaible. 1980. Silase Technology, A
trainer Manual. PODF for The Asia and The
Pacific. Inc. 15-24.
Purbowati, E, C.I. Sutrisno, E. Baliarti , S.P.S.
Budhi, dan W. Lestariana. 2008. “Pemanfaatan Energi Pakan KomplitBerkadar
Protein-Energi Berbeda Pada Domba Lokal Jantan Yang Digemukkan Secara Feedlot”. J.Indon.Trop.Anim.Agric.
33 [1] Universitas Diponegoro, Semarang.
Qomariyah, Novia. 2004. “Uji Derajat Keasaman (PH),
Kelarutan, Kerapatan dan Sudut Tumpukan untuk Mengetahui Kualitas Bahan Pakan
Sumber Protein”. Skripsi.
IPB : Bogor.
Ramli,
N. 2000. Design model pabrik silase
terpadu serta evaluasi terhadap kualitas Produknya. tahun ke-2 : kajian
kualitas tepung bakteri asam laktat terkapsulasi dan tepung garam asam organik
dari pabrik silase terpadu. http://www.lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail. diakses tanggal 1 juni 2014
Retnani,
Yuli, dkk. 2011.”
Uji Fisik Rnsum Ayam Broiler Bentuk Peleet yang ditambahkan
Perekat Onggok Melalui Proses Penyimpanan Air”.
Jurnal Agripet Vol. 10. No. 10, April 2010.
Rukmana, Rahmat. 2001. Silase dan Permen Ternak Ruminansia.
Kanisius : Yogyakarta.
Saenab,
Andi. Dkk. 2010. “Evaluasi
Kualitas Pelet Ransum Komplit Yang Mengandung Produk Samping Udang”. Jurnal ITV. Vol. 15. No. 1. Fakultas Universitas Gorontalo.
Schlegal, H.G Schmidt, K. 1994. Allgemaine Mikrobiologie atau Mikrobiologi
Umum. Terjemahan Baskoro. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Shiddieqy,
M. Ikhsan . 2005. Pakan Ternak Jerami Olahan .Mahasiswa
Departemen Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Unpad. Bandung.
Soedjana, Tjeppy D, Dkk. 2003. “Warta
Penelitian Dan Pengembangan Pertanian”. Badan
Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. ISSN 0216-4427. Vol. 25 No.3
Soejono,
M. 1987. Pengaruh lama peram pada
amoniasi jerami padi terhadap kecernaan in
vivo. Prosiding Limbah Pertanian Sebagai Pakan dan Manfaat Lainnya.
Editor M Soejono, dkk. Bioconversion Project Second Workshop. Grati.
Sofyan A. Dkk. 2007. Pakan Ternak Dengan Silase. Majalah Inovasi.
Edisi 5 Desember 2007.
Suparjo, Ir. 2008. Pengawasan Mutu Pada Pabrik Pakan Ternak.
Laboratorium Makanan Ternak. Universitas Negeri Jambi.
Suryanagara, Pramadita. 2006. “Uji Kadar Air dan Ketahanan Benturan Ransum
Komplit Domba Bentuk Pelet Menggunakan Daun Kelapa Sawit sebagai Substitusi Hijauan”. Skripsi: 1-28. Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sutardi
T. R. 2003. Bahan Pakan dan Formulasi
Ransum. UNSOED. Purwokerto.
Sutardi.T.
2012. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak.
Fak. Pertanian IPB. Bogor.
Sutrisno,
C.I., B. Sulistyanto, Nurwantoro, Sri Mukodiningsih, Tristiarti, S. Widiati,
Surahmanto, A.G. Sumantri, Nisyamsuri, Wiluto, dan Alidjabidi. 1988.” Peningkatan
Kualitas Jerami Padi sebagai Pakan Ternak”.
Laporan Penelitian Hibah Bersaing.
Tahun I/1 Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. Semarang.
Syarifudin,
U.H. 2001. “Pengaruh
penggunaan tepung gaplek sebagai perekat terhadap sifat fisik ransum broiler
bentuk crumble”.
Skripsi. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tannenbaum.
S.R. and D.LC. Wang. 1975. Single-cell Protein IT. London: The
Massachussetts Institute of Technology Press.
Thompson, F. M. 1993. Hand Book of Powders Science and
Technology 391, 393, eds, M. E. Fayed and L. Otten. New York
Tjokrokoesoemo,
P. S. 1989. HFS dan Industri Ubi Kayu
Lainnya. PT. Gramedia. Jakarta.
Walker. H.G. and G.O.Kohler, 1978. Treated
and Untreated Cellulosic Wastesand Animal Feeds. Recents Work interaksi the
United States of America.
Winarno. F.G. dan S. Fardiaz. 1980. Biofermentasi
clan Biosintesa Protein. Angkasa. Bandung.
Zain, Subhan.
2008.” Pengaruh Penambahan Air Panas
dan Perekat Bentonit terhadap Sifat Fisik Ransum Broiler Starter Bentuk Crumble”.
Skripsi: 1-35. Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.