Jumat, 13 Juni 2014

BERKARYA UNTUK ALMAMATER



 BERKARYA UNTUK ALMAMATER
Oleh : Siti Fatimah Tuzahro
                                                                                                     
Mahasiswa merupakan salah satu komponen masyarakat yang menimba ilmu di berbagai bidang perguruan tinggi di Indonesia. Para pejuang muda yang cakap,intelektual dan independen (bebas,mandiri dan tidak terikat kepentingan agama, politik dan lain-lain) inilah yang memegang peran dan tanggung jawab besar sebagai generasi pengisi dan penerus kemerdekaan menuju Indonesia serba baru. Mahasiswa harus benar-benar memanfaatkan kesempatan yang dimilikinya untuk menjadi generasi perubahan yang berkualitas,baik di dalam maupun di luar kampus,karena tak semua pemuda bangsa yang mendapatkan kesempatan menjadi mahasiswa,menuntut ilmu di perguruan tinggi. Mahasiswa dididik menjadi insan akademis yaitu kaum yang mampu mengambil sikap dengan mengkritik dirinya sendiri dan lingkungannya. Inilah yang disebut peran intelektual mahasiswa, dimana dia tidak hanya dituntut untuk mencari kebenaran tetapi juga membela kebenaran atau membiasakan kebenaran bukan membenarkan kebiasaan.
Peran mahasiswa diantaranya adalah mahasiswa sebagai agent of change (agen suatu perubahan) dimana mahasiswa merupakan golongan yang harus menjadi garda terdepan dalam melakukan aksi perubahan. Perubahan dilakukan karena kondisi bangsa saat ini jauh sekali dari kondisi ideal, dimana banyak sekali penyakit-penyakit masyarakat yang menghinggapi hati bangsa ini, mulai dari pejabat-pejabat atas hingga bawah, dan tentunya tertular pula kepada banyak rakyatnya. Sudah seharusnyalah kita melakukan tindakan nyata terhadap hal ini. Mahasiswa tidak boleh lepas tangan jika terjadi perubahan ke arah salah atau negatif. Mahasiswa sebagai iron stock (generasi pemimpin) yang diharapkan menjadi manusia-manusia tengguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Sejarah telah membuktikan bahwa di tangan generasi mudalah perubahan-perubahan besar terjadi, dari zaman nabi, kolonialisme, hingga reformasi, pemudalah yang menjadi garda depan perubah kondisi bangsa. Hal yang bisa dilakukan untuk menjalakan peran ini yaitu memperkaya diri kita dengan berbagai pengetahuan baik itu dari segi keprofesian maupun kemasyarakatan, dan tak lupa untuk mempelajari berbagai kesalahan yang pernah terjadi di generasi-generasi sebelumnya. Pada intinya mahasiswa adalah aset, cadangan, dan harapan bangsa untuk masa depan. Sedangkan fungsi mahasiswa adalah insan akademis yang crisis of sense yaitu peka dan kritis terhadap masalah yang terjadi di sekitarnya dan selalu mengembangkan dirinya menjadi generasi yang tanggap dan mampu menghadapi tantangan masa depan. Mahasiswa juga sebagai Guardian of Value berarti mahasiswa berperan sebagai penjaga nilai-nilai di masyarakat. kita harus melihat mahasiswa sebagai insan akademis yang selalu berpikir ilmiah dalam mencari kebenaran.
Pemuda (mahasiswa) selalu disebut-sebut sebagai pelopor perubahan, perubahan sistem, perubahan kehidupan yang berasal dari keterpurukan menuju kehidupan bangsa yang lebih baik. Bentuk kongkrit yang bisa direalisasikan dari Pelopor Bangsa untuk almamater UNSOED adalah menjadi penggerak terdepan dalam melakukan perubahan ataupun perbaikan sistem lingkungan internal kampus. Misalnya selalu memantau kebijakan yang detetapkan oleh petinggi-petinggi universitas. Apabila ada kebijakan yang tidak diterima atau memberatkan mahasiswa kampus, maka tidak segan-segan Pelopor Berkarya untuk segera berpikir kritis, mencari dan menampung solusi-solusi atau alternatif untuk memecahkan permasalahan tersebut. Selain itu golongan Pelopor Berkarya dituntut untuk terus memberikan inovasi-inovasi terbaru untuk menghasilkan hasil terbaik karya pemuda bangsa yang pada akhirnya mangharumkan nama almamater.
            Dari waktu ke waktu, bangsa Indonesia memang selalu membutuhkan inovasi-inovasi baru untuk mengatasi permasalahan – permasalahan baru yang juga semakin berkembang menuntut suatu perubahan. Sedangkan mahasiswa adalah lapisan intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial yang khas yaitu mencipta dan menyebar kebudayaan tinggi, menyediakan bagan – bagan nasional antar bangsa, membina keberdayaan dan bersama mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik.
            Oleh karena itu, Pelopor Berkarya sebagai komunitas pemuda masa kini diharapkan mampu bermetamorfosa menjadi penerus tombak estafet pembangunan negara, dengan intelegensinya diharapkan bisa mendobrak pilar – pilar kehampaan suatu negara dalam mencari kesempurnaan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta secara moril akan dituntut tanggung jawab akademisnya dalam menghasilkan “buah karya” yang berguna bagi kehidupan lingkungannya.



Senin, 09 Juni 2014

LAPORAN AKHIR TEKNOLOGI PAKAN


LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
TEKNOLOGI PAKAN






 















OLEH:
SITI FATIMAH TUZAHRO
D1E012105
KELOMPOK 05















LABORATORIUM ILMU BAHAN MAKANAN TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014

LEMBAR PENGESAHAN
TEKNOLOGI PAKAN









Oleh:
SITI FATIMAH TUZAHRO
D1E012105
KELOMPOK 05







Disusun Untuk Memenuhi Tugas dan Menjadi Syarat Kulikuler Praktikum Mata Kuliah Teknologi Pakan

















LABORATORIUM ILMU BAHAN MAKANAN TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
TEKNOLOGI PAKAN






 












Oleh:
SITI FATIMAH TUZAHRO
D1E012105
KELOMPOK 05




Diterima dan disetujui
Pada Tanggal……………..









Koordinator Asisten                                                 Asisten Kelompok





Ahmad Rio Sukarno                                                 Denny Kurniawan
NIM . D1E010002                                                    NIM . D1E011041      



I.                   PENDAHULUAN

                              
1.1         Latar Belakang
Pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya dan bermanfaat bagi ternak, oleh karena itu apa yang disebut pakan adalah segala sesuatu yang dapat memenuhi persyaratan tersebut di atas dan tidak menimbulkan keracunan bagi ternak yang memakannya. Kebutuhan pakan terkait erat dengan jenis ternak, umur ternak, dan tingkat produksi. Konsumsi bahan kering (DW) pakan ditentukan oleh tubuh ternak. Macam ransum, umur, penyakit, lingkungan, kondisi ternak dan defisiensi nutrient tertentu. Hijauan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba). Penyediaan hijauan yang cukup sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi ternak. Maksud dari cukup adalah cukup secara kuantitas, kualitas maupun kotinuitasnya.
Ketersediaan hijauan pakan saat ini mulai berkurang. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah :
1.   Perubahan fungsi lahan yang dulu sebagai sumber hijauan pakan menjadi lahan pemukiman, lahan untuk tanaman pangan dan tanaman industri.
2.   Sumberdaya alam untuk peternakan berupa padang penggembalaan diIndonesia semakin berkurang.
3.   Ketersediaan hijauan juga dipengaruhi oleh iklim, sehingga pada musim kemarau terjadi kekurangan hijauan pakan ternak dan sebaliknya di musim hujan jumlahnya melimpah.
Pemanfaatan hijauan yang mampu bertahan hanya pada musim penghujandan dimusim kemarau susah untuk didapatkan. Ketersediaan jerami yangmelimpah dan belum termanfaatkan secara optimal sangat perlu untuk diupayakanagar dapat termanfaatkan dengan baik. Metode fermentasi dan amoniasi jeramimerupakan usaha untuk mendapatkan pakan ternak dengan cara mengawetkan jerami tersebut agar tidak kekurangan pakan saat musim kemarau danmemudahkan ternak untuk mencerna jerami. Pakan utama ternak ruminansiaadalah hijauan yaitu sekitar 60-70%, akan tetapi karena ketersediaan pakanhijauan sangat terbatas maka pengembangan peternakan dapat diintegrasikandengan usaha pertanian sebagai strategi dalam penyediaan pakan ternak melaluioptimalisasi pemanfaatan limbah pertanian dan limbah agroindustri pertanian.Pembuatan pakan komplit merupakan usaha untuk memberikan nutrisi yangdibutuhkan oleh ternak. Uji fisik dilakukan untuk mengetahui seberapa baik dankuat serta kualitas yang dihasilkan dari pakan.
Teknologi pengolahan pakan merupakan dasar teknologi untuk mengolah limbah pertanian, perkebunan maupun agroindustri dalam pemanfaatannya sebagai pakan. Pengolahan pakan disini bertujuan untuk meningkatkan  kualitas, utamanya efektifitas cerna, utamanya untuk ternak ruminansia serta peningkatan kandungan protein bahan. Beberapa alternatif pengolahan dapat dilakukan secara fisik (pencacahan, penggilingan dan atau pemanasan), kimia (larutan basa dan atau asam kuat), biologis (mikroorganisme atau enzim) maupun gabungannya. Pengolahan cara fisik  dan biologis memerlukan tenaga dan investasi yang cukup tinggi dan dalam skala besar, sering kali menjadi tidak  berjalan. Cara kimia dengan “amoniasi” dirasa merupakan cara yang paling tepat dalam pengolahan ini, karena mudah  dilakukan, murah, tidak mencemari lingkungan dan sangat efisien.  
Tingginya konsumsi ternak terhadap pakan membuat para peternak sapi,ayam,kambing maupun hewan ternak lainnya mencari alternative pakan selain hijauan dan dedak padi pada umumnya.Para peternak pada saat ini telah menambahkan protein,sumber energi,mineral,dan lain sebagainya. Tentu dengan berbagai jenis pakan yang ada disekitar kita baik dalam bentuk bungkil maupun limbah dari pertanian dan limbah dari pengolahan tempe dan tahu. Kebutuhan protein hewani yang kian meningkat, harus diikuti dengan peningkatan produksi tenak ruminansia sebagai salah satu sumber protein hewani, sebagai upaya untuk mencapai swasembada daging sapi 2014. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi ternak ruminansia diantaranya dengan perbaikan kualitas bibit ternak (secara genetik), peningkatan mutu pakan ternak, dan peningkatan kualitas kesehatan ternak.
Seiring dengan berjalannya waktu, populasi ternak semakin meningkat yang berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah pakan yang harus tersedia. Selain itu, untuk mencapai produktivitas ternak yang tinggi, selain kualitas genetik harus baik, kualitas pakan pun harus baik. Akan tetapi, disisi lain jumlah lahan untuk tanaman pakan semakin menurun seiring dengan bertambahnya populasi manusia. Dan masalah klasik yang dialami peternak dalam penyediaan pakan dari segi musim adalah melimpahnya pakan di musim hujan dan berkurangnya pakan di musim kemarau. Belum lagi kualitas dari pemanfaatan bahan atau material dari ikutan produk pertanian / agroindustri masih terbilang rendah karena belum semua kalangan mampu untuk mengolahnya menjadi bahan pakan dengan kualitas baik. Karena itu, dibutuhkan pengolahan bahan pakan yang baik untuk memenuhi kebutuhan pakan bagi meningkatnya populasi ternak dan untuk meningkatkan produktivitas ternak.

1.1         Waktu dan Tempat
1.1.1        Pembuatan  Amoniasi Jerami Padi, Fermentasi dan Silase Hijauan
Praktikum  dilaksanakan  pada hari  Rabu, 31 Mei 2014  pukul 15.00-17.00 WIB. Bertempat di Green House Fakultas peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

1.1.2        Pembuatan Pakan Komplit Fermentasi dan Pellet
Praktikum  dilaksanakan  pada hari  Rabu, 14 Mei 2014  pukul 15.00-17.00 WIB. Bertempat di Green House Fakultas peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

1.1.3        Uji Fisik Bahan Pakan
Praktikum  dilaksanakan  pada hari  Rabu, 21 Mei 2014  pukul 08.45-10.25 WIB. Bertempat di Laboratorium Ilmu Bahan dan Makanan Ternak Fakultas peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.




II.           TUJUAN DAN MANFAAT

2.1    Tujuan
a.    Praktikan dapat melakukan pembuatan silase hijauan.
b.    Praktikan dapat melakukan pembuatan jerami amoniasi.
c.    Praktikan dapat melakukan pembuatan jerami fermentasi.
d.   Praktikan dapat melakukan pembuatan pellet.
e.    Praktikan dapat melakukan pembuatan pakan komplit.
f.     Mengetahui nilai sudut tumpukan yang terkandung dalam suatu bahan pakan.
g.    Mengetahui nilai berat jenis yang terkandung dalam suatu bahan pakan.
h.    Mengetahui nilai durability yang terkandung dalam suatu bahan pakan.
i.      Mengetahui nilai hardness yang terkandung dalam suatu bahan pakan.
j.      Mengetahui perubahan bau, pH, warna dan strutur hasil pengolahan bahan pakan.

2.2    Manfaat
a.    Dapat menanggulangi kurang tersedianya hijauan pakan pada musim kemarau.
b.    Dapat meningkatkan kualitas jerami sebagai bahan pakan.
c.    Dapat menyediakan pakan yang berkualitas untuk hewan ternak.
d.   Dapat mengurangi polusi udara dan air dan juga menekan biaya pakan.








III.        TINJAUAN PUSTAKA


3.1              Amoniasi Jerami Padi
Jerami merupakan bagian dari batang tanaman padi tanpa akar yang dibuang setelah diambil butir buahnya. Jika jerami padi langsung diberikan kepada ternak sapi, daya cernanya rendah dan proses pencernaannya lambat,sehingga total yang dimakan per satuan waktunya menjadi sedikit. Di samping itu jerami mempunyai nilai gizi jerami yang rendah karena kandungan proteinnya rendah. Melalui teknik amoniasi dapat mengubah jerami menjadi pakan ternak yang potensial dan berkualitas karena melalui amoniasi dapat meningkatkan daya cerna dan meningkatkan kandungan proteinnya (Sofyan, 2007).
Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak sapi potong, kambing, dan domba, agar dapat berdaya guna dan berhasil guna diperlukan suatu teknologi yang sederhana dan mudah dalam mengerjakannya, tetapi tetap berkualitas. Teknologi tersebut antara lain melalui amoniasi. Amoniasi merupakan teknik perlakuan kimiawi dengan penambahan unsur N dari urea yang ditambahkan pada jerami, sehingga terjadi poses perombakan struktur jerami yang keras menjadi struktur jerami yang lunak, untuk meningkatkan daya cerna (digestibility) dan meningkatkan jumlah jerami yang dimakan (feed intake) oleh sapi (Nevy,2008).
Jerami padi merupakan salah satu hasil ikutan pertanian terbesar di Indonesia yang jumlahnya kurang lebih 20 juta ton per tahun, produksinya bervariasi sekitar 12 - 15 ton per hektar atau 4 - 5 ton bahan kering per hektar satukali panen, tergantung pada lokasi dan jenis varietas tanaman yang digunakan.Sebagian besar jerami padi tidak dimanfaatkan, karena selalu dibakar setelah proses pemanenan. Sedangkan di sektor peternakan membutuhkan makanan ternak (pakan) yang harus tersedia sepanjang waktu dan sepanjang musim untuk menjaga agar produktifitas ternak tidak menurun. Oleh karena itu, jerami padi sangat penting untuk dimanfaatkan menjadi makanan ternak ruminansia khususnya sapi potong, kambing dan domba agar dapat meningkatkan produktivitasnya, sehingga produksi daging akan meningkat yang akhirnya swasembada daging dapat tercapai (Dwiyanto, 2000).
Meningkatkan nilai gizi jerami padi ini diperlukan input teknologi yangsampai saat ini terus dikembangkan dan dikenalkan pada peternak. Ada beberapa cara yang lazim digunakan dalam pengolahan limbah pertanian diantaranyamelaui perlakuan fisik, kimia dan biologi. Peningkatan manfaat limbah pertanian dilakukan dengan peningkatan nilai kecernaanya dan salah satu metoda yang dapat dilakukan untuk tujuan tersebut adalah pengolahan secara biologis dengan memanfaatkan mikroorganisme. Teknik fermentasi dan amoniasi yang dipilih berdasarkan kesederhanaan alat yang dibutuhkan, kemudian kerja dan telah diuji dengan menggunakan ternak. Fermentasi yaitu proses perombakan dari struktur keras secara fisik, kimia dan biologi sehingga bahan dari struktur yang komplek menjadi sederhana, sehingga daya cerna ternak menjadi lebih efisien (Rukmana,2001).

3.2              Jerami Padi Fermentasi
Masalah utama pemanfaatan jerami sebagai pakan adalah tersebarnya sumber jerami padi sehingga menyebabkan ongkos transportasi mahal. Masalah utama lainnya adalah kualitas jerami padi yang rendah. Ikatan fisik dan ikatan kimia antara selulosa, hemiselulosa, lignin dan silica (Ranjahan, 1977) serta rendahnya kecernaan (Djajanegara, 1983) merupakan hambatan utama bagi mikroorganisme rumen dalam memanfaatkan serat kasar jerami padi. Usaha untuk mengatasi hal tersebut, perlu mempertimbangkan suatu perlakuan dan pemberian pakan tambahan (suplemen) yang tepat (Nista, 2007).
Fermentasi merupakan kegiatan mikrobia pada bahan pangan, sehingga dihasilkan produk yang dikehendaki. Mikrobia yang umumnya terlibat dalam fermentasi adalah bakteri dan jamur. Fermentasi dapat dilakukan menggunakan kultur murni ataupun alami serta dengan kultur tunggal ataupun kultur campuran. Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikanfermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan atau tanpa akseptor elektron eksternal (Kamal, 1998). 
Fermentasi sudah dikenal berabad-abad yang lalu. Secara terbatas masyarakat hanya mengenal proses fermentasi sebagai pengubahan karbohidrat menjadi alkohol. Ditinjau dari metabolis bahwa fermentasi merupakan suatu reaksi oksidasi-reduksi di dalam sintesa biologi, yang menghasilkan energy sebagai donor dan akseptor elektron. Senyawa organik yang digunakan yaitu karbohidrat dalam bentuk glukosa. Senyawa ini akan diubah oleh reaksi reduksi dengan katalis enzim menjadi asam. Selanjutnya fermentasi adalah suatu proses perubahan kimiawi dari senyawa-senyawa organik karbohidrat, lemak, protein dan bahan organik lain (Rarumangkay, 2002).

3.3              Silase Hijauan
Silase adalah awetan hijauan yang dilakukan dengan metode basah.  Hijauan  pakan segar yang aan dibuat silase dilayukan terlebih dahulu agar diperoleh  kadar air sekitar 60%. Hijauan dipotong-potong dengan panjang antara 5-10 cm. Hijauan dimasukkan wadah yang dinamakan sili dan dipadatkan.Apabila sudah penuh ditutup agar suasana anaerob. Proses yang terjadi di dalam silo disebut ensilase. Ensilase berjalan optimum  pada minggu ke tiga, karena pada minggu ke tiga pH hijauan sudah turun mencapai sekitar a ngka 4. Silase yang baik pada umumnya masih berwarna hajua, sedikit lebih ucat disbanding hijauaan segarnya, berbau sedikit asam dengan tekstur remah yang tidak menggumpal (Sutardi, 2012).
Silase adalah hijauan makanan ternak (HMT) yang diawetkan dengan teknologi fermentasi. Pembuatan silase bertujuan untuk mengatasi masalah kesulitan penyediaan hijauan makanan ternak pada musim kemarau. Manfaat pembuatan silase:
1. Persediaan makanan ternak pada musim kemarau.
2. Menampung kelebihan HMT pada musim hujan dan memanfaatkan secara optimal.
3. Mendayagunakan hasil ikutan dari limbah pertanian dan perkebunan (Ramli, 2000).
Waktu penyimpanan silase berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi pakan, kecernaan bahan kering dan produksi susu (Cushnanhan, dkk, 1996). Lama waktu penyimpanan berpengaruh terhadap penurunan kandungan ADF, penggunaan aditif molasses mengalami penurunan dari minggu ke 3 sampai minggu ke 12. Proses ensilase ketersediaan karbohidrat terlarut sangat banyak sehingga mendorong bakteri asam laktat akan menyebabkan pH turun seiring dengan aktivitas mikroba dalam proses fermentasi. Setelah mengalami proses ensilase akan terjadi proses peregangan dan pemecahan ikatan lignoselulosa sehingga selulosa terpisah dari lignin (Arif, 2001).

3.4              Pakan Komplit Fermentasi
Complete feed adalah suatu teknologi formulasi pakan yang mencampur semua bahan pakan yang terdiri dari hijauan  (limbah pertanian) dan konsentrat yang dicampur menjadi satu tanpa atau hanya sedikit tambahan rumput segar. Pakan Komplit adalah ransum berimbang yang telah lengkap untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak, baik untuk pertumbuhan, perawatan jaringan maupun produksi. (Teguh, 2012). Menurut Herdian(2006), pakan complete feed fermentasi adalah pakan yang dianggap sebagai pakan dengan kandungan ransum terlengkap (Total Mixed Ration). Pakan ini merupakan pakan yang  memiliki kandungan lengkap bahan pakan yang meliputi sumber hijauan dan konsentrat yang dibuat fermentasi.
Pakan komplit dapat disusun dari bahan campuran limbah agroindustri, limbah pertanian yang belum dimanfaatkan optimal sehingga ternak tidak perlu diberi hijauan (Mariyono dan Romjali, 2007). Limbah agroindustri memiliki sifat amba / makan tempat, kadar komponen serat yang tinggi, kadar air yang tinggi, dan kadar protein yang rendah (Achmadi, 2010). Dalam pakan komplit, semua bahan pakan, baik bahan pakan berserat maupun konsentrat dicampur dalam satu bentuk pakan. Pembuatan pakan komplit berbahan limbah pertanian dan limbah industri pertanian merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah ketidakontinyuan penyediaan bahan pakan untuk ruminansia (Purbowati, 2008).

3.5              Pembuatan Pellet
Pelet merupakan bentuk bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari bahan konsentrat atau hijauan dengan tujuan untuk mengurangi sifat keambaan pakan. Patrick dan Schaible (1980) menjelaskan keuntungan pakan bentuk pelet adalah meningkatkan konsumsi dan efisiensi pakan,meningkatkan kadar energi metabolis pakan, membunuh bakteri patogen, menurunkan jumlah pakan yang tercecer, memperpanjang lama penyimpanan, menjamin keseimbangan zat-zat nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin.
Menurut Stevent (1981) menjelaskan lebih lanjut keuntungan pakan bentuk pelet adalah 1) meningkatkan densitas pakan sehingga mengurangi keambaan,mengurangi tempat penyimpanan, menekan biaya transportasi, memudahkan penanganan dan penyajian pakan; 2) densitas yang tinggi akan meningkatkan konsumsi pakan dan mengurangi pakan yang tercecer; 3) mencegah de-mixing yaitu penguraian kembali komponen penyusun pelet sehingga konsumsi pakan sesuai dengan kebutuhan standar.
Pembuatan pelet terdiri dari proses pencetakan, pendinginan dan pengeringan. Perlakuan akhir terdiri dari proses sortasi, pengepakan dan pergudangan. Proses penting dalam pembuatan pelet adalah pencampuran (mixing), pengaliran uap (conditioning), pencetakan (extruding) dan pendinginan (cooling). Proses kondisioning adalah proses pemanasan dengan uap air pada bahan yang ditujukan untuk gelatinisasi agar terjadi perekatan antar partikel bahan penyusun sehingga penampakan peletmenjadi kompak, durasinya mantap, tekstur dan kekerasannya bagus Proses kondisioning untuk gelatinisasi dan melunakkan bahan agar mempermudah pencetakan. Disamping itu juga bertujuan untuk membuat : (1) Pakan menjadi steril, terbebas dari kuman atau bibit penyakit; (2) Menjadikan pati dari bahan baku yang ada sebagai perekat;(3) Pakan menjadi lebih lunak sehingga ternak mudah mencernanya dan (4) Menciptakan aroma pakan yang lebih merangsang nafsu makan ternak (Pujaningsih, 2006).
3.6              Uji Fisik Bahan Pakan
3.6.1        Berat Jenis
Berat jenis atau disebut juga dengan berat spesifik, merupakan perbandingan antara massa bahan terhadap volumenya dan satuannya adalah gr/ml (Kling, 1983).  Berat jenis memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan dan penyimpanan.  Pertama, berat jenis merupakan faktor penentu dari kerapatan tumpukan.  Kedua, berat jenis juga memberikan pengaruh besar terhadap daya ambang partikel pakan.  Ketiga, berat jenis bersama dengan ukuran partikel bertanggung jawab terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran pakan.  Keempat, berat jenis sangat menentukan tingkat ketelitian dalam proses penakaran secara otomatis pada pabrik pakan, seperti dalam proses pengemasan dan pengeluaran bahan dari dalam silo untuk dicampur atau digiling (Negara, 2001).
Perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempati oleh bahan tersebut. Alat ukur berat jenis adalah phynometer, galas ukur. Besar berat jenis dipengaruhi oleh ukuran partikel. Peran berat jenis adalah sabagai berikut:
a.   Berpengaruh terhadap besarnya kecepatan tumpukan (spesifik destiny).
b.    Menentukan daya ambang.
c.    Besarnya ukuran partikel berpengaruh terhadap homogenitas dan stabilitas pencampuran. Dua jenis yang sangant berbeda maka berat jenisnya akan cenderung terpisah kembali sehingga dalam pencampuran sebaiknya bahan dihaluskan terlebih dahulu.
d.   Berpengaruh dalam kecepatan penakaran (Sutardi, 2003).

3.6.2        Sudut Tumpukan
Menurut Sutardi (2003), sudut tumpukan adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan bidang miring bahan yang dicurahkan membentuk gundukan dalam bidang horizontal. Sudut tumpukan merupakan kriteria kebebasan gerak suatu partikel dalam tumpukan, semakin tinggi sudut tumpukan, semakin kurang kebebasan gerak suatu partikel. Menurut Khalil (1997), sudut tumpukan merupakan sudut yang dibentuk oleh bahan pakan yang diarahkan pada bidang datar. Sudut tumpukan merupakan kriteriakebebasan bergerak suatu partikel pakan dalam tumpukan dimana semakin tinggi sudut tumpukan kebebasan bergerak suatu partikel semakin berkurang.
Sudut tumpukan adalah sudut yang terbentuk jika bahan dicurahkan pada bidang datar melalui sebuah corong, dengan satuan (o).  Sudut tumpukan ini merupakan kriteria kebebasan gerak partikel dari suatu tumpukan bahan (Khalil, 1997). Besarnya sudut tumpukan sangat dipengaruhi oleh ukuran, bentuk dan karakteristik partikel, kandungan air, berat jenis dan kerapatan tumpukan (Khalil, 1997). Ukuran partikel mempengaruhi sudut tumpukan, yaitu semakin kecil ukuran partikel maka semakin tinggi sudut tumpukannya (Mujnisa, 2007).  Kadar air yang semakin tinggi maka sudut tumpukannya semakin tinggi pula (Syarif, 1993). Sudut tumpukan kecil akan lebih baik jika disimpan dalam wadah (Kling, 1983).
Tujuan mengetahui sifat fisik bahan pakan yaitu mempermudah penanganan dalam pengangkutan, pengolahan dan menjaga hemogenitas dan stabilitas saat pencampuran (Lubis, 1993). Khalil (1997) menyatakan bahwa, sudut tumpukan merupakan sudut yang dibentuk oleh bahan pakan yang diarahkan pada bidang datar. Sudut tumpukan merupakan kriteria kebebasan bergerak suatu partikel pakan dalam tumpukan dimana semakin tinggi sudut tumpukan kebebasan bergerak suatu partikel semakin berkurang.

3.6.3        Hardness
Uji ketahanan benturan dengan menggunakan metode Hardness Test digunakan untuk mengetahui ketahanan pelet terhadap benturan atau tumbukan pada saat pengepakan atau proses pengangkutan (Suryanagara, 2006). Uji ini dilakukan dengan menekan pellet dengan menggunakan hand pellet tester sampai pellet tersebut retak.
Bakti (2006) menyatakan Pakan pellet bersifat porous yaitu mudah menyerap air sehingga bila ditempatkan di lingkungan yang lembab, maka kadar airnya akan meningkat, akibatnya pakan pellet akan mudah ditumbuhi jamur . Selain itu pellet yang kadar airnya tinggi dan juga yang baru dicetak teksturnya tidak padat, bila digenggam akan mudah hancur . Sebaliknya pellet yang kadar airnya rendah (< 15%) memiliki tekstur yang padat, agak keras, tidak mudah hancur, dan tidak mudah ditumbuhi oleh jamur.
   Uji ketahanan benturan dengan menggunakan metode Hardness Test digunakan untuk mengetahui ketahanan pelet terhadap benturan atau tumbukan pada saat pengepakan atau proses pengangkutan (Suryanagara, 2006). Uji ini dilakukan dengan menekan pellet dengan menggunakan hand pellet tester sampai pellet tersebut retak.
3.6.4        Durability
Durabilitas pelet adalah ketahanan partikel pelet yang dirumuskan, sehingga persentase dari banyaknya pakan pelet utuh setelah melalui perlakuan fisik dalam alat uji durabilitas terhadap jumlah pakan semula sebelum dimasukkan ke dalam alat (Dozier, 2001). Durability terkait dengan berbagai proses dalam pemanfaatan pelet seperti proses transportasi (pengangkutan), serta pendistribusian pelet yang dihasilkan, oleh karena itu pengukuran durability pelet penting dilakukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelet durability adalah (1) karakteristik bahan baku, dalam hal ini faktor yang dimaksud adalah protein, lemak, serat, pati, dan density (kepadatan), tekstur, dan air, serta kestabilan karakteristik bahan akan menghasilkan kualitas pelet yang baik, dan (2) ukuran partikel (Zain, 2008).
Durability terkait dengan berbagai proses dalam pemanfaatan pelet seperti proses transportasi (pengangkutan), serta pendistribusian pelet yang dihasilkan, oleh karena itu pengukuran durability pelet penting dilakukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelet durability adalah (1) karakteristik bahan baku, dalam hal ini faktor yang dimaksud adalah protein, lemak, serat, pati, dan density (kepadatan), tekstur, dan air, serta kestabilan karakteristik bahan akan menghasilkan kualitas pelet yang baik, dan (2) ukuran partikel (Zain, 2008).
Pellet yang baik memiliki indeks ketahanan (PDI) yang baik, sehingga pellet memiliki tingkat kekuatan dan ketahanan yang baik selama proses penanganan dan transportasi. Standar spesifikasi durability indeks yang digunakan adalah minimum 80% (Dozier, 2001).

























IV.        MATERI DAN CARA KERJA

4.1         MATERI
4.1.1        Amoniasi Jerami Padi
Alat yang digunakan dalam pembuatan jerami amoniasi yaitu Timbangan kapasitas 10 Kg dan 2 Kg, Kantong plastik bening 1 X 2 Kg, Tali rafia 1 gulung, Golok, Tatakan kayu, Botol air minum 1,5 liter. Bahan yang digunakan yaitu Jerami Padi 2 Kg, Urea 3%, Air 40%.

4.1.2        Fermentasi Jerami Padi
Alat yang digunakan dalam pembuatan fermentasi jerami padi yaitu Timbangan kapasitas 10 Kg dan 2 Kg, Kantong plastik bening 1 X 2 Kg, Tali rafia 1 gulung, Golok, Tatakan kayu, Botol air minum 1,5 liter. Bahan yang digunakan yaitu Jerami padi 2 Kg, Dedak Padi 2%, EM4 0,2%, Air 1 liter, Molases.

4.1.3        Silase Hijauan
Alat yang diguanakan dalam pembuatan silase hijauan yaitu Timbangan kapasitas 10 Kg dan 2 Kg, Kantong plastik bening, Tali rafia 1 gulung, Golok, Tatakan kayu, Botol air minum 1,5 liter, Ember. Bahan yang digunakan yaitu rumput gajah 4 kg  yang dicacah, dedak padi 400 gram, dedak jagung dan molases 80 gram.

4.1.4        Pakan Komplit Fermentasi
Alat yang digunakan dalam pembuatan pakan komplit fermentasi yaitu Timbangan kapasitas 10 Kg dan 2 Kg, Kantong plastik bening, Tali rafia 1 gulung, Golok, Tatakan kayu, Botol air minum 1,5 liter, Ember. Bahan yang digunakan yaitu Cacahan kulit pisang 1 Kg, Bekatul 600 gram, Ampas Tahu 300 gram, Air 0,1 liter, Tetes 0,6 ml, EM4 5,6 ml, Garam dapur 0,3 gram.




4.1.5        Pellet
Alat yang digunakan dalam pembuatan pellet yaitu Timbangan kapasitas 10 Kg dan 2 Kg, Kantong plastik bening, Tali rafia 1 gulung, Golok, Tatakan kayu, Botol air minum 1,5 liter. Bahan yang digunakan yaitu Onggok 0,2 Kg, Polard 0,54 Kg, Bungkil Kelapa 0,36 Kg, Dedak Padi 200 gram, Tepung Jagung 100 gram, Mineral 200 gram, Kapur 10 gram, Garam 30 gram, Urea 20 gram, Tepung Kanji 100 gram, Air.

4.1.6        Uji Fisik Bahan Pakan
4.1.6.1       Berat Jenis
Alat yang digunakan dalam uji fisik berat jenis yaitu Timbangan analitik dan gelas ukur. Bahan yang digunakan yaitu Pellet 10 ml.

4.1.6.2       Sudut Tumpukan
Alat yang digunakan dalam uji fisik sudut tumpukan yaitu Corong, Besi penyangga, Timbangan kapasitas 1 kg, Mistar  siku-siku. Bahan yang digunakan yaitu Pellet 200 gram.

4.1.6.3   Hardness
Alat yang digunakan dalam uji fisik hardness yaitu Hard pellet tester. Bahan yang digunakan yaitu Pellet 10 buah.

4.1.6.4       Durrability
Alat yang digunakan dalam uji fisik durrability yaitu mesin durrability, timbangan kapasitas 1 kg, alat penyaring. Bahan yang digunakan yaitu Pellet 300 gram.

4.2         CARA KERJA
4.2.1                    Amoniasi Jerami Padi
ditimbang jerami padi 2 kg dan  urea 0,06 gram (3%)

urea dilarutkan dengan air 1.5 liter dalam botol

dikocok sampai homogen

jerami dimasukan dalam kantong plastik bening 

ditambahkan urea

plastik diikat tali rafia

ditunggu selama 3 minggu

4.2.2        Fermentasi Jerami Padi
disiapkan jerami padi  2 kg

ditimbang dedak 0,04 gram (2%)

dilarutkan EM4 0,004 gram (0,2%) dan molases

jerami dimasukan dalam kantong plastik bening

ditambahkan dedak dan larutan EM4 + molases

plastik diikat tali rafia
                                                                                                              
ditunggu selama 3 minggu

4.2.3        Silase Hijauan
Dicacah rumput gajah yang sudah dilayukan

Ditimbang 4 Kg

ditimbang dedak jagung 200 gr dan dedak padi 400 gram


dimasukan rumput gajah ke dalam ember


ditambah dedak jagung, dedak padi dan molases


ditutup rapat

4.2.4        Pakan Komplit Fermentasi
ditimbang cacahan kulit pisang 1 kg

ditimbang ampas tahu 300 gram, bekatul 600gram,
garam dapur 0,3 gram, molases 0,6 ml, EM4 5,6 ml


Campurkan bahan dari yang halus ke yang kasar


Aduk sampai merata

ditambah air 0,1 liter


Dimasukkan dalam ember

Ditutup rapat

4.2.5        Pellet
bahan-bahan ditimbang

dicampur semua bahan

diaduk sampai rata

ditambah air sampai semua bahan dapat merekat
dimasukkan plastik bening

diikat

disteam

dimasukan dalam mesin pellet

dikeringkan

dimasukan dalam wadah

4.2.6        Uji Fisik Bahan Pakan
4.2.6.1       Berat Jenis
Gelas Ukur 100 ml ditimbang

Dimasukkan sampel ke gelas ukur sampai 100 ml

Gelas ukur + sampel ditimbang

Berat jenis dihitung

4.2.6.2       Sudut Tumpukan
disiapkan alat dan bahan

dipasang corong

bahan (dedak) ditimbang 200 gr

bahan dituang ke corong

diukur diameter

diukur tinggi curahan

dihitung sudut tumpukan

4.2.6.3       Hardness
Cincin diposisikan pada angka 0

Pellet ditekan sampai retak

Dilihat angka pada alat Hard Pellet Tester

4.2.6.4       Durrability
Sampel ditimbang 300 gram

Dimasukkan ke dalam mesin durrability

Mesin dinyalakan selama 10 menit

Dikeluarkan

Diayak

Dihitung durrability






V.                HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1         Hasil
5.1.1        Amoniasi Jerami Padi
Tabel 1. Hasil Amoniasi Jerami Padi
Karakteristik
Ditambah Urea
Warna
Kuning
Tekstur
Remah
Struktur
Mudah membedakan daun dan batang
Kenampakan jamur
-
PH
Asam

5.1.2        Fermentasi
Tabel 2. Hasil Jerami Padi Fermentasi
Karakteristik
Tanpa Urea
Warna
Coklat kekuningan
Tekstur
Remah
Struktur
Mudah membedakan daun dan batang
Kenampakan jamur
Ada jamur
PH
Asam


5.1.3        Silase Hijauan
Tabel 3. Hasil Silase Hijauan
Sifat fisik
Sedang
Bau
Asam
Warna
Hijau pucat
Tekstur
Remah
Struktur
Mudah membedakan daun dan batang
PH
Asam




5.1.4        Pakan Komplit Fermentasi
Tabel 4. Hasil Pakan Komplit Fermentasi
Bau
Agak Busuk
Jamur
Tidak ada
Warna
Coklat

5.1.5        Pellet
Tabel 5. Hasil Pembuatan Pellet
Warna
Coklat
Tekstur
Lunak

5.1.6        Uji Fisik Bahan Pakan
5.1.6.1       Berat Jenis
Volume gelas ukur                          = 100 gr
Gelas ukur kosong (A)                        = 111 gr
Bahan dan gelas ukur (B)                   = 135,5 gr
BJ                                                        =

5.1.6.2       Sudut Tumpukan
Tinggi                         = 5,3 cm
Diameter                     = 20 cm
Berat sampel               = 200 gr

tg α =  
α     = 27,9 °

5.1.6.3       Hardness
Sampel
Kekerasan
Sampel 1
15
Sampel 2
15
Sampel 3
11
Sampel 4
15
Sampel 5
15
Sampel 6
10
Sampel 7
15
Sampel 8
15
Sampel 9
15
Sampel 10
15
Rata rata
23,6









                            

5.1.6.4       Durability
Durability        =
                                    =

Tabel 6. Hasil Kelompok 1-5
Kel
Hardness
(lbs)
Berat
Jenis
ST
(o)
Durrability
(%)
1
14,9
0,25
22,9
50
2
16,5
0,30
21,4
53
3
9,9
0,31
33,7
50
4
17,5
0,127
23,6
41,6
5
14,2
0,245
27,9
41,6







5.2         Pembahasan
5.2.1        Amoniasi Jerami Padi
Jerami padi merupakan limbah pertanian yang sangat berlimpah jumlahnya, namun pemanfaatan dari jerami padi ini belum begitu diaplikasikan. Menurut Sofyan (2007) Jerami merupakan bagian dari batang tanaman padi tanpa akar yangdibuang setelah diambil butir buahnya. Jika jerami padi langsung diberikankepada ternak sapi, daya cernanya rendah dan proses pencernaannya lambat,sehingga total yang dimakan per satuan waktunya menjadi sedikit. Di samping itu jerami mempunyai nilai gizi jerami yang rendah karena kandungan proteinnyarendah. Melalui teknik amoniasi dapat mengubah jerami menjadi pakan ternak yang potensial dan berkualitas karena melalui amoniasi dapat meningkatkan dayacerna dan meningkatkan kandungan proteinnya. Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak sapi potong, kambing, dan domba, agar dapat berdaya guna dan berhasil guna diperlukan suatu teknologi yang sederhana dan mudah dalam mengerjakannya, tetapi tetap berkualitas. Teknologi tersebut antara lain melalui amoniasi. Amoniasi merupakan teknik perlakuan kimiawi dengan penambahan unsur N dari urea yang ditambahkan pada jerami, sehingga terjadi poses perombakan struktur jerami yang keras menjadi struktur jerami yang lunak, untuk meningkatkan daya cerna (digestibility) dan meningkatkan jumlah jerami yang dimakan (feed intake) oleh sapi (Nevy,2008).
Produksi per hektar sawah padi bisa mencapai 12-15 ton setiap kali panen, tergantung lokasi dan varietas tanaman. Musim kemarau, di mana peternak merasa kesulitan dalam mencari hijauan sebagai bahan pakan ternak ruminansia disebabkan karena menurunnya produksi hijauan pada musim tersebut. Untuk mengatasi hal ini peternak biasanya mengganti pakan hijauan dengan menggunakan limbah pertanian yaitu jerami. Akan tetapi, di dalam jerami padi mengandung serat yang tinggi, sehingga jerami padi sulit dicerna oleh tubuh ternak khususnya ternak ruminansia. Menurut Sutrisno (1988) menyatakan bahwa, jerami padi mengandung protein kasar antara 2-6 % dan energi 40-48 % TDN dengan kandungan lignin dan silikat yang sangat tinggi. Sedangkan menurut Lamid (2010) mengatakan bahwa, pada umumnya limbah pertanian ini mempunyai kualitas rendah, karena kandungan proteinnya rendah 3-5% bahan kering sehingga mempunyai nilai kecernaan yang rendah bila dibandingkan dengan pakan hijauan.
Amoniasi merupakan cara pengolahan jerami padi secara kimiawi dengan menggunakan gas ammonia (NH3). Tujuan amoniasi adalah menghidrolisis ikatan lignoselulsa dan lignohemiselulosa, Melarutkan sebagian mineral silikat, meningkatkan kecernaan, meningkatkan kandungan protein kasar dan menekan pertumbuhan jamur. Gas ammonia bisa diperoleh dari urea (CO(NH2)2), urine, cairan rumen, NH4 OH (Amonium hidroksida) yang dilarutkan dalam air. CO(NH2)2 digunakan karena memiliki beberapa kelebihan, yaitu mudah diperoleh dimana-mana, harga relatif murah, pelaksanaannya mudah. Daya kerja NH3 adalah sebagai berikut NH3 berfiksasi dalam jerami sehingga meningkatkan protein kasar. NH3 yang terserap berikatan dengan gugus asetil membentuk garamammonium asetat, mengandung unsur N sehingga bisa langsung digunakanoleh mikroba rumen. Memutus ikatan Hidrogen sehingga meningkatkan fleksibilitas dinding selyang menyebabkan sel mengembang dan melonggarkan ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa. Longgarnya ikatan tersebut memudahkan penetrasienzim selulase dan hemiselulase sehingga meningkatkan daya cerna pakan.Penggunaan urea harus memenuhi takaran yaitu maksimal 6% dari bahan kering jerami. Takaran yang melebihi 6% akan menyebabkan keracunan pada ternak. Hal ini dikarenakan urea yang terurai menjadii ammonia dalam rumen akan masuk ke pembuluh darah, karena jumlahnya yang banyak makahati tidak mampu mengubah ammonia dengan cepat sehingga konsentrasiammonia dalam darah meningkat yang akan berpengaruh pada otak dan akan menyebabkan kematian (Anonim, 2009).
Praktikum yang kita lakukan dalam pembuatan jerami amoniasi menggunakan urea. Karena urea yang pling mudah digunakan. Menurut Soedjana (2003) bahwa ada sumber amoniak yang dapat digunakan dalam proses amoniasi yaitu NH3 dalam bentuk cair, NH4OH dalam bentuk larutan, dan urea dalam bentuk padat. Penggunaan NH3 gas yang dicairkan biasanya relatif mahal. Selain harganya mahal, juga memerlukan tangki khusus, begitu pula dengan NH4OH. Satu-satunya sumber urea yang murah dan mudah diperoleh adalah urea. Urea yang banyak beredar adalah urea yang umumnya digunakan sebagai pupuk. Dosis urea yang ditaburkan pada saat praktikum adala 3% dari bobot 2 kg jerami kering. Hal ini sesuai dengan pendapat Schiere & Ibrahim (1989) at Shieddiqi (2005) dosis urea yang ditaburkan ke dalam jerami jumlahnya sekira 4%-6% dari berat jerami. Dengan kata lain, setiap 100 kg jerami padi yang akan diamoniasi membutuhkan urea sebanyak 4-6 kg. Jika dosis urea yang ditaburkan ke dalam jerami terlalu banyak, maka urea tersebut tidak akan memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai nutrisi pada jerami. Jerami yang telah ditaburi urea harus segera dibungkus dengan rapat. Bahan pembungkus yang digunakan biasanya berupa lembaran plastik dengan ketebalan yang cukup memadai. Pembungkusan ini sangat penting dilakukan agar tercipta kondisi hampa udara (an-aerob). Proses amoniasi harus berlangsung tanpa kehadiran udara, sehingga pembungkusan harus dilakukan secara hati-hati. Untuk mencegah kebocoran, jerami yang telah ditaburi urea dapat dibungkus dengan lembaran plastik sebanyak dua lapis atau lebih (Schiere & Ibrahim,1989 at Shieddiqi, 2005).
Perlakuan amoniasi telah terbukti mempunyai pengaruh yang baik terhadap pakan. Berdasarkan praktikum amoniasi jerami padi, diperoleh hasil bahwa setelah disimpan selama 3 minggu jerami padi mengalami perubahan, yaitu warna jerami kuning, remah, lembut teksturnya bila dipegang, antara daun dan batangnya mudah untuk dibedakan, tidak terdapat jamur dan pH asam serta baunya asam. Hal ini sesuai pendapat Kusnadi (2000), menyatakan bahwa kualitas amoniasi jerami padi yang baik, yaitu warnanya kecoklat-coklatan, kering dan lembut jika dibandingkan dengan asalnya. Hasil amoniasi jerami padi menunjukkan bahwa praktikum yang dilakukan berhasil, karena sesuai dengan ketentuan yang ada. Manfaat dari pengolahan amoniasi adalah memotong ikatan rantai lignoselusosa dan membebaskan sellulosa dan hemisellulosa agar dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak. Amoniak (NH3) yang berasal dari urea akan bereaksi dengan jerami padi. Dalam hal ini ikatan tadi lepas diganti mengikat NH3 , dan sellulosa serta hemisellulosa lepas. Ini semua berakibat pada kecernaan meningkat, juga kadar protein jerami padi meningkat. NH3 yang terikat berubah menjadi senyawa sumber protein. Dengan demikian keuntungan amoniasi adalah kecernaan meningkat, protein jerami meningkat, menghambat pertumbuhan jamur dan memusnahkan telur cacing yang terdapat dalam jerami. Fungsi amoniak (NH3) disini adalah sebagai pengubah komposisi dan struktur dinding sel yang berperan untuk membebaskan ikatan antara lignin dengan selulosa dan hemiselulosa. Hal ini sejalan dengan pendapat Soejono (1998) yang menyatakan bahwa sama halnya dengan unsur alakali yang lainya, amoniak menyebabkan perubahan konposisi dan struktur dinding sel yang berperan untuk membebaskan ikatan antara lignin dengan selulosa dan heniselulosa. Reaksi kimia yang terjadi (dengan memotong jembatan hidrogen) menyebabkan mengembangnya jaringan dan meningkatkan pleksinilitas dinding sel hingga memudahkan penetrasi (penerobosan) oleh enzim selulase yang dihasilkan oleh mikroba. Jerami padi yang telah diamoniasi memiliki nilai energi yang lebih besar dibandingkan jerami yang tidak diolah. Proses amoniasi sangat efektif dalam menghilangkan alfatoksin dalam jerami. Jerami yang telah diamoniasi akan terbebas dari kontaminasi mikroorganisme jika jerami tersebut telah diolah dengan mengikuti prosedur yang benar secara hati-hati.

5.2.2        Jerami Padi Fermentasi
Jerami padi tanpa diberi perlakuan bila digunakan sebagai pakan ternak kurang tepat. Menurut Komar (1984), menyatakan bahwa, rendahnya kualitas dari jerami padi terutama kandungan protein kasar, bila diberikan pada ternak dalam jumlah yang besar tidak dapat meningkatkan produksi dari ternak tersebut Begitupun pendapat Sutrisno (1988), bahwa penggunaan jerami padi sebagai makanan ternak masih kurang bermanfaat karena rendahnya kandungan zat – zat makanannya. Fermentasi adalah pengawetan dalam bentuk lembab. Menurut Nista (2007), proses fermentasi merupakan proses anaerob sehingga perlu dihindarkan tindakan yang mengakibatkan masuknya udara. Fermentasi jerami tidak menggunakan urea, namun menggunakan dedak padi. Menurut Schlegal (1994), bahwa fermentasi selain membutuhkan unsur karbon juga membutuhkan unsur-unsur lain seperti nitrogen vitamin dan mineral dan salah satu bahan yang dapat di gunakan adalah dedak halus, yang merupakan hasil sampingan dari pengolahan hasil pertanian. Scott (1976) menambahkan bahwa, kandungan zat gizi dedak halus berdasarkan porsentase bahan kering terdiri dari protein kasar 12%, lemak kasar 13% dan serat kasar 12%.
Fermentasi adalah segala macam proses metabolik dengan bantuan enzim
dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi kimia lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu dan menyebabkan terjadinya perubahan sifat bahan tersebut (Winarno, 1980). Walker (1978) menyatakan kegunaan enzim di dalam pakan diantaranya:
1.      Memecah atau mengurangi keeratan ikatan yang terjadi antar serat jaringan pakan sehingga menambah energi.
2.      Merusak molekul antinutrisi yang mungkin terdapat pada pakan sehingga lebih banyak pakan yang dapat digunakan yang berarti meningkatkan nilai gizi
3.      Membantu pencernaan ternak atau hewan yang masih kecil (yang sistem pencernaannya belum sempurna)
4.      Menurunkan jumlah ekskresi kotoran sehingga menurunkan polusi
Mikroba yang banyak digunakan sebagai inokulum fermentasi adalah kapang, bakteri, khamir, dan ganggang. Pemilihan inokulum yang akan digunakan lebih berdasarkan pada komposisi media, teknik proses, aspek gizi, dan aspek ekonomi (Tannenbeum, dkk., 1975). Fermentasi dilakukan dengan cara menambahkan bahan mengandung mikroba proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik, dan bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik (contohnya: starbio, starbioplus, EM-4, dan lain-lain).
Berdasarkan praktikum pembuatan jerami fermentasi, diperoleh hasil bahwa setelah disimpan selama 3 minggu jerami tersebut mengalami perubahan baik fisik maupun struktur di dalamnya. Dilihat dari fisiknya jerami mengalami perubahan pada warna coklat kekuningan, bila dipegang teksturnya lembut, bau agak busuk, antara daun dan batang mudah dibedakan, terdapat jamur. Menurut Kusnadi (2000), menyatakan bahwa hasil fermentasi jerami padi yang baik mempunyai ciri-ciri yaitu warna kuning agak kecoklatan, bila dipegang teksturnya lembut, bau tidak busuk, tidak berjamur, baunya agak harum. Terdapat perbedaan pada ada tidaknya jamur, hasil fermentasi jerami menunnjukkan adanya jamur putih pada permukaan jerami, namun menurut Kusnadi (2000), menyatakan bahwa kualitas jerami fermentasi yang baik yaitu tidak terdapat jamur. Hal ini dapat disebabkan karena kurang rapat saat membungkus jerami, sehingga masih terdapat udara didalamnya yang akan mempermudah mikroba atau bakteri untuk berkembang.
Sedangkan untuk struktur dalamnya untuk pH yaitu asam, protein kasar naik dari 3,50% menjadi 7,02%, serat kasar turun dari 35% menjadi 25,95%. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan jerami fermentasi dapat meningkatkan kualitas pakan. Menurut Daryanti (2002), pembuatan jerami fermentasi akan mengubah struktur jerami padi, sehingga menjadi lebih mudah dicerna, karena proses fermentasi dapat meningkatkan degradabilitas partikel lignoselulosa, hemiselulosa, di samping itu perubahan starter dapat berfungsi sebagai sumber protein bagi ternak yang mengkonsumsi.

5.2.3        Silaese Hijauan
Silase hijauan adalah awetan hijauan yang difermentasi. Sesuai dengan pendapat Rukmana (2001) yang mengemukakan bahwa silase dapat didefinisikan sebagai hijauan pakan segar yang disimpan dalam satu tempat yang kedap udara (anaerob). Sedangkan menurut Nevy (2008) silase adalah bahan pakan ternak berupa hijauan (rumput-rumputan dan leguminosa) yang disimpan dalam bentuk segar mengalami proses ensilase. Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk memaksimumkan pengawetan kandungan nutrisi yang terdapat pada hijauan atau bahan pakan ternak lainnya, agar bisa di disimpan dalam kurun waktu yang lama, untuk kemudian di berikan sebagai pakan bagi ternak. Sehingga dapat mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau (Toni, 2008). Sedangkan menurut Darmono (1993) tujuan pembuatan silase antara lain untuk mengatasi kekurangan makanan ternak pada musim kemarau atau musim paceklik, untuk menampung kelebihan produksi hijauan pakan ternak atau memanfaatkan hijauan pada saat pertumbuhan terbaik tetapi belum dimanfaatkan.
Silase hijauan membutuhkan waktu 3 minggu, agar hasil yang diperoleh maksimal. Menurut Cushnanhan (1996) bahwa waktu penyimpanan silase berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi pakan, kecernaan bahan kering dan produksi susu. Menurut Arif (2001) menyatakan bahwa, lama waktu penyimpanan berpengaruh terhadap penurunan kandungan ADF, penggunaan aditif molasses mengalami penurunan dari minggu ke 3 sampai minggu ke 12. Proses ensilase ketersediaan karbohidrat terlarut sangat banyak sehingga mendorong bakteri asam laktat akan menyebabkan pH turun seiring dengan aktivitas mikroba dalam proses fermentasi. Setelah mengalami proses ensilase akan terjadi proses peregangan dan pemecahan ikatan lignoselulosa sehingga selulosa terpisah dari lignin.
Berdasarkan pembuatan silase hijauan, diperoleh hasil setelah silase disimpan selama 3 minggu mengalami perubahan yaitu bau asam, warna hijau pucat, teksturnya remah dan lembut bila dipegang dan pH-nya asam. Menurut Kusnadi (2000) menyatakan bahwa, silase yang baik adalah bau agak wangi, rasanya manis dan sedikit asam, warnanya hijau kekuning-kuningan, tidak berjamur, waktu dibuka suhu tidak panas (kurang 30o), apabila dipegang kering dan teksturnya lembut, tidak menggumpal, PH berkisar antara 4 – 4,5 dan kandungan gizi tidak berkurang bahkan bertambah.

5.2.4        Pakan Komplit Fermentasi
Complete Feed adalah suatu teknologi formulasi pakan yang mencampur semua bahan pakan yang terdiri dari hijauan ( limbah pertanian ) dan konsentrat yang dicampur menjadi satu tanpa atau hanya sedikit tambahan rumput segar. Pakan Komplit adalah ransum berimbang yang telah lengkap untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak, baik untuk pertumbuhan, perawatan jaringan maupun produksi. Dalam pemberiannya, ransum ini tidak memerlukan tambahan apapun kecuali air minum. Dengan pemberian pakan komplit, lebih praktis dan sangat menghemat tenaga kerja serta petani tidak perlu lagi setiap hari mencari rumput (Teguh, 2012). Teknologi pakan lengkap (complete feed) merupakan salah satu metode/ teknik pembuatan pakan yang digunakan untuk meningkatkan pemanfaatan limbah pertanian dan limbah agroindustri melalui proses pengolahan dengan perlakuan fisik dan perlakuan suplementasi untuk produksi pakan ternak ruminansia. Proses pengolahannya meliputi pemotongan untuk merubah ukuran partikel bahan, pengeringan, penggilingan/ penghancuran, pencampuran antara bahan serat dan konsentrat yang berupa padatan maupun cairan, serta pengemasan produk akhir (Hardianto, 2000).
Pakan komplit, semua bahan pakan, baik bahan pakan berserat maupun konsentrat dicampur dalam satu bentuk pakan. Penyusunan pakan komplit yang penting diperhatikan adalah kandungan nutrien dari pakan komplit itu sendiri. Agar pakan komplit dapat diiberikan sebagai pakan tunggal tanpa adanya bahan tambahan lain, maka kandungan nutrien yang terdapat pada pakan komplit harus dapat mencukupi kebutuhan ternak. Reddy (1988) menyatakan bahwa, kisaran kandugan zat makanan pakan lengkap adalah; bahan organik 74-95,9%, protein kasar 9,2-16%, serat kasar 12,2-29%, lemak kasar 1,5-6,8%. Pakan komplit fermentasi dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pakan ternak, mempermdah dalam pemberian pakan, transportasi dan penyediaan/stok pakan. Menurut Purbowati (2008) pembuatan pakan komplit berbahan limbah pertanian dan limbah industri pertanian merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah ketidakontinyuan penyediaan bahan pakan untuk ruminansia.
Molasess digunakan sebagai bahan pakan karena banyak mengandung karbohidrat sebagai sumber energi dan mineral. Molasses memiliki kandungan protein kasar 3,1%; serat kasar 0,6%; BETN 83,5%; lemak kasar 0,9%; dan abu 11,9%. Maryati (2008) menyatakan bahwa molasses mampu menurunkan kadar amoniak dan meningkatkan kecernaan pakan. Molasses dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat fermentable karena masih mengandung kadar gula 48-58% sehingga dapat menurunkan NH3 yang terbuang. Hasill praktikum menunjukkan pakan komplit berbau busuk dan warnanya coklat, hal ini dikarenakan pada waktu mencampur bahan terlalu banyak air yang diberikan, sehingga mikroorganisme mudah tumbuh yang menyebabkan pembusukan pada pakan komplit tersebut.



5.2.5        Pellet
Pelet merupakan bentuk bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari bahan konsentrat atau hijauan dengan tujuan untuk mengurangi sifat keambaan pakan. Keuntungan pakan bentuk pelet adalah meningkatkan konsumsi dan efisiensi pakan,meningkatkan kadar energi metabolis pakan, membunuh bakteri patogen, menurunkan jumlah pakan yang tercecer, memperpanjang lama penyimpanan, menjamin keseimbangan zat-zat nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin.  Keuntungan pakan bentuk pelet adalah meningkatkan densitas pakan sehingga mengurangi keambaan,mengurangi tempat penyimpanan, menekan biaya transportasi, memudahkan penanganan dan penyajian pakan; densitas yang tinggi akan meningkatkan konsumsi pakan dan mengurangi pakan yang tercecer; mencegah de-mixing yaitu peruraian kembali komponen penyusun pelet sehingga konsumsi pakan sesuai dengan kebutuhan standar.
Pellet dibuat secara mekanis, proses pembuatan pellet yang kami lakukan dengan cara mencampur formula pakan secara merata yang sudah timbang, kemudian steam campuran pakan sampai keluar gel (gelatin) dalam, setelah itu dimasukkan dalam mesin pellet (pelletizer) yang berguna mencetak pakan tersebut, terakhir pellet yang sudah dicetak dikeringkan dibawah sinar matahari. Menurut Tjokroadikusoemo (1989), umumnya proses pengolahan pelet terdiri dari 3 tahap, yaitu 1) pengolahan pendahuluan meliputi pencacahan, pengeringan dan penghancuran menjadi tepung, 2) Pembuatan pelet meliputi pencetakan, pendinginan dan pengeringan, 3) Perlakuan akhir meliputi sortasi, pengepakan dan penggudangan. Sedangkan menurut Krisnan (2009), secara ringkas tahapan pebuatan pelet sebenarnya hanya meliputi beberapa proses penting yaitu pencampuran (mixing), pengaliran uap (conditioning), pencetakan (extruding) dan pendinginan (cooling).
Berdasarkan praktikum pembuatan pellet, diperoleh hasil bahwa pellet yang telah dibuat berbentuk kapsul, namun warnanya coklat dan teksturnya tidak keras (agak lembek). Hal ini disebabkan karena pada saat menjemur dibawah sinar matahari pellet belum diratakan, sehingga masih banyak yang menumpuk yang menyebabkan pellet bagian bawah lembab dan mikroorganisme mudah berkembang. Selain itu pada saat pengeringan tidak dilakukan pengecekan terhadap cuaca, sehingga pada saat hujan pellet yang sedang dikeringkan terkena air hujan, hal inilah yang membuat pellet tidak kering.

5.2.6        Uji Fisik Bahan Pakan
5.2.6.1       Berat Jenis
Berat jenis atau disebut juga dengan berat spesifik, merupakan perbandingan antara massa bahan terhadap volumenya dan satuannya adalah gr/ml (Kling, 1983). Berat jenis memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan dan penyimpanan.  Pertama, berat jenis merupakan faktor penentu dari kerapatan tumpukan.  Kedua, berat jenis juga memberikan pengaruh besar terhadap daya ambang partikel pakan.  Ketiga, berat jenis bersama dengan ukuran partikel bertanggung jawab terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran pakan.  Keempat, berat jenis sangat menentukan tingkat ketelitian dalam proses penakaran secara otomatis pada pabrik pakan, seperti dalam proses pengemasan dan pengeluaran bahan dari dalam silo untuk dicampur atau digiling (Negara, 2001).
Sifat fisik pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan laju aliran digesta rumen. Oleh karena itu evaluasi sifat fisik terhadap bahan pakan yang berasal dari limbah perkebunan untuk dijadikan ransum agar formulasi ransum yang disusun sesuai dengan sifat bahan yang digunakan.Sifat fisik (keambaan, daya serap air, dan kelarutan) sangat erat kaitannya dengan degrabilitas dan fermentabilitas bahan pakan tersebut di dalam rumen (Sutardi, 2003). Berat jenis merupakan sifat yang umum dimiliki oleh pakan berserat. Semakin tinggi keambaan suatu bahan pakan semakin tinggi kandungan seratnya. Ternak yang mengkonsumsi ransum dengan keambaan tinggi akan cepat merasa kenyang, sedangkan kebutuhan nutrisinya belum terpenuhi (Suparjo, 2008).
Berdasarkan hasil uji fisik terhadap berat jenis pellet diperoleh hasil 0,24 gr/ml.  Hasil ini kurang sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Retnani (2011), menyatakan bahwa rataan berat jenis bahan pakan adalah 1,27 – 1,40 gr/ml.  Nilai berat jenis pellet yang digunakan dalam praktikum menunjukkan kurangnya tingkat kemudahan yang setara dalam pengangkutan dan kapasitas ruang penyimpanan.  Syarifudin (2001) menambahkan, semakin tinggi berat jenis, maka akan semakin meningkatkan kapasitas ruang penyimpanan dan memudahkan pengangkutan.
5.2.6.2       Sudut Tumpukan
Khalil (1997), menyatakan bahwa Pellet merupakan bentuk bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari bahan konsentratatau hijauan dengan tujuan untuk mengurangi sifat keambaan pakan. Sudut tumpukan menurut Thompson (1993), merupakan kriteria kebebasan bergerak satu partikel pakan dalam tumpkan. Semakin tinggi tumpkan, maka semakin kurang bebas suatu partikel bergerak dalam tumpukan. Sudut tumpukan berperan antara lain dalam menentukan flowabivity (kemampuan mengalir suatu bahan, efisiensi pada pengankutan atau pemindahan secara mekanik, ketepatan dalam penimbangan dan kerapatan kepadatan tumpukan. Menurut Qomariah (2004), sudut tumpukan merupakan sudut antara bidang datar dengan kemiringan tumpukan, yang terbentuk jika bahan dihancurkan serta menunjukan kriteria kebebasan bergerak partikel dari suatu tumpukan bahan. Semakin bebas suatu partikel bergerak, maka sudut tumpuk yang terbentuk juga semakin kecil. Pergerakan partikel yang ideal ditunjukan oleh ransum bentuk cair, dengan sudut tumpukan berkisar 20°-50°.
Sudut tumpukan merupakan faktor yang mempengaruhi homogenitas campuran. Perbedaan keragaman ukuran materi dalam campuran dapat mengakibatkan pemisahan secara nyata apabila materi mempunyai perbedaan sudut tumpukan (Axe, 1995). Pakan bentuk padat mempunyai sudut tumpukan berkisar antara 20o dan 50o (Khalil, 1997). Besarnya sudut tumpukan sangat dipengaruhi oleh ukuran, bentuk dan karakteristik partikel, kandungan air, berat jenis dan kerapatan tumpukan (Khalil, 1997).  Mujnisa (2007) menambahkan, bahwa ukuran partikel mempengaruhi sudut tumpukan, yaitu semakin kecil ukuran partikel maka semakin tinggi sudut tumpukannya.  Menurut Syarif (1993), bahwa kadar air yang semakin tinggi maka sudut tumpukannya semakin tinggi pula.  Maka menurut Kling (1983), bahwa sudut tumpukan kecil akan lebih baik jika disimpan dalam wadah.
Berdasarkan hasil uji fisik yang telah dilakukan, pellet mempunyai sudut tumpukan sebesar 27,9o.  Hasil ini sesuai dengan pendapat Khalil (1997), bahwa pakan bentuk padat memiliki sudut tumpukan berkisar antara 20o – 50o.  Hal ini berarti bahwa dedak memiliki sifat yang mudah dituang ke wadah lain, karena sudut tumpukan pellet yang diharapkan dalam proses pengolahan pada industri pakan adalah sudut tumpukan yang kecil (Saenab, 2010). Begitupun menurut Fasina dan Sokhansanj (1993), menyatakan bahwa besarnya sudut tumpukan antara 25o-30o mempunyai sifat sangat mudah mengalir. Untuk hasil kelompok 3 dan 8 berturut-turut 33,7o dan 30,26o menunjukkan ketidaksesuaian dengan ketentuan bahwa sudut tumpukan yang baik berkisar antara 25-30o. Hal ini dapat disebabkan karena kurang teliti dalam melakukan uji fisik bahan pakan khususnya sudut tumpukan.

5.2.6.3       Hardness
Pengujian Kekerasan atau Hardness Tester adalah satu dari sekian banyak pengujian yang dipakai, karena dapat dilaksanakan pada benda uji yang kecil tanpa kesukaran mengenai spesifikasi. Kekerasan (Hardness) adalah salah satu sifat mekanik (Mechanical properties) dari suatu material. Pengujian yang paling banyak dipakai adalah dengan menekankan penekan tertentu kepada benda uji dengan beban tertentu dan dengan mengukur ukuran bekas penekanan yang terbentuk diatasnya, cara ini dinamakan cara kekerasan dengan penekanan. Kekerasan juga didefinisikan sebagai kemampuan suatu material untuk menahan beban identasi atau penetrasi atau penekanan (Abu bakar, 2007).
Praktikum uji hardness diperoleh hasil dari sampel 1-10 adalah 15 gr, 15 gr, 11 gr, 15 gr, 15 gr, 10 gr, 18 gr, 12 gr, 11 gr, 20 gr dengan hasil rata-rata 3,2 gram. Uji hardeness (kekerasan) dilakukan pada 10 sampel pelet yang hasilnya dirat-rata. Dalam praktikum dijelaskan uji kekerasan pelet yang baik memiliki nilai sekitar 14-20. Kekerasan pelet sangat dipengaruhi oleh kadar air dan proses penjemuran. Bila pada proses penjemuran pada pelet tidak baik, maka pelet akan mudah hancur dan pelet lebih memiliki sifat lembut bukan keras. Hal ini didukung oleh pernyataan oleh Bakti (2006) bahwa Pakan pellet bersifat porous yaitu mudah menyerap air sehingga bila ditempatkan di lingkungan yang lembab, maka kadar airnya akan meningkat, akibatnya pakan pellet akan mudah ditumbuhi jamur . Selain itu pellet yang kadar airnya tinggi dan juga yang baru dicetak teksturnya tidak padat, bila digenggam akan mudah hancur . Sebaliknya pellet yang kadar airnya rendah (< 15%) memiliki tekstur yang padat, agak keras, tidak mudah hancur, dan tidak mudah ditumbuhi oleh jamur. Kadar air pellet bisa diturunkan dengan cara pengeringan dengan sinar matahari atau alat pengering. Selanjutnya pellet yang sudah kering dengan kadar air < 15%, jika kemasan dan penempatannya benar maka kualitas dan kuantitas pellet akan tetap terjaga dalam waktu yang relatif lama.
Berdasarkan hasil praktikum, pelet memiliki tekstur tidak keras dan lebih cenderung lembut. Hal ini disebabkan oleh faktor pengeringan yang kami lakukan, dengan menggunakan alas plastik yang sifatnya tidak bisa menyerap air. Sehingga air yang ada pada plastik tidak bisa mengalir, dan mikroorganisme pun akan mudah berkembang biak yang nantinya menyebabkan tumbuhnya jamur. Seharusnya alas yang baik yang terbuat dari seng atau bahan penghantar panas lainnya yang dapat mengurangi kadar air pada alas tersebut.

5.2.6.4       Durrability
Durabilitas pellet adalah ketahanan partikel pellet yang dirumuskan sebagai persentase dari banyaknya pakan pellet utuh setelah melalui perlakuan fisik dalam alat uji tumbling cane terhadap jumlah pakan semula sebelum dimasukkan ke dalam alat. Pellet yang baik mempunyai durabilitas di atas 90 % atau kandungan tepung di bawah 10 %. Nilai durabilitas pellet sangat ditentukan oleh penggunaan bahan baku dalam formulasi pakan dan teknis operasional pellet mill. Memperoleh durabilitas tinggi digunakan bahan baku yang mempunyai pelletabilitas tinggi, sebagai contoh jagung bernilai sedang, katul bernilai rendah, dan wheat pollard bernilai tinggi. Apabila perhitungan formulasi least cost tidak memungkinkan maka biasa ditambahkan binder (perekat sintetis) untukmeningkatkan durabilitas. Penyesuaian teknis operasional pelleting dapat mempengaruhi durabilitas yaitu penggunaan ukuran die yang tepat (diameter dan compression ratio atau perbandingan antara panjang lubang efektif terhadap ketebalan die), kombinasi steam conditioner dan kecepatan feeder yang efektif, kerja cooler pendingin yang optimal dan lain-lain.Uji durabilitas menggunakan tumbling cane. Terbaik dilakukan segera setelah bahan pellet melewati cooler pada saat suhu partikel sudah dianggap dingin. Apabila nilai durabilitas diperoleh dari perlakuan setelah 1 jam sejak cooling maka hasil 95 harus dituliskan sebagai (95). Apabila uji dilakukan sebelum cooler maka nilai durabilitas akan lebih kecil disebabkan oleh adanya penguapan kandungan air. (Abu bakar, 2007).
Durability terkait dengan berbagai proses dalam pemanfaatan pelet seperti proses transportasi (pengangkutan), serta pendistribusian pelet yang dihasilkan, oleh karena itu pengukuran durability pelet penting dilakukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelet durability adalah (1) karakteristik bahan baku, dalam hal ini faktor yang dimaksud adalah protein, lemak, serat, pati, dan density (kepadatan), tekstur, dan air, serta kestabilan karakteristik bahan akan menghasilkan kualitas pelet yang baik, dan (2) ukuran partikel (Zain, 2008).
Dalam praktikum durability ini digunakan mesin durability yang berguna untuk menghaluskan pelet selamat 10 menit yang nantinya diayak, dan dihitung durability. Hasil yang didapatkan saat praktikum nilai durability 41,6% sedangkan rata-rata semua kelompok dari kelompok 1-5 didapatkan hasil 14,6%. Hasil ini masih jauh dikatakan pelet yang baik, dikarenakan pelet yang baik menurut Dozier (2001), yaitu memiliki indeks ketahanan (PDI) yang baik, sehingga pelet memiliki tingkat kekuatan dan ketahanan yang baik selama proses penanganan dan transportasi. Standar spesifikasi durability indeks yang digunakan adalah minimum 80%. Kurangnya nilai durability dalam pelet ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain oleh bahan baku pembuatan dan proses pembuatan pelet.



VI.        KESIMPULAN DAN SARAN

6.1         Kesimpulan
6.1.1             Silase adalah awetan pakan hijauan bentuk segar dengan kadar air 60 % - 70 %, yang disimpan dalam ruang penyimpanan ( silo ) kedap udara dalam kondisi anaerob dan suasana asam.
6.1.2             Proses amoniasi dapat meningkatkan kadar protein kasar sampai dua kali lipat, dapat disimpan tahan lama dan dapat sebagai pengawet.
6.1.3             Complete feed adalah pakan yang disusun dari berbagai macam bahan pakan sehingga mempunyai kandungan nutrient sesuai dengan kebutuhan ternak.
6.1.4             Pellet dan fermentated complet feed merupakan pakan yang dibuat untuk tujuan meningkatkan kecernaan dan nutrient.
6.1.5             Uji fisik dilakukan untuk menguji bahan pakan dalam bentuk kekerasaan bahan pakan, kehalusan, kekuatan bahan pakan.

6.2         Saran
6.2.1             Kerjasama antara praktikan dengan asisten lebih ditingkatkan, agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan praktikum dan praktikum dilaksanakan sesuai waktu yang telah ditentukan.
6.2.2             Saat melakukan praktikum harus lebih hati-hati sesuai dengan prosedur yang diajarkan.
6.2.3             Asisten sebaiknya lebih peka terhadap praktikan yang kurang aktif.
6.2.4             Alat-alat untuk praktikum lebih dilengkapi lagi dan tersedia dalam jumlah yang memadai.
6.2.5             Ketika melakukan pengeringan dengan oven dan pengabuan dengan tanur, suhu dan waktu disesuaikan dengan ketentuan yang ada agar hasil sesuai dengan standar yang telah ada.


DAFTAR PUSTAKA
Abu bakar. 2007. Teknologi Pengolahan Pakan Sapi. Deptan Dirjen
Peternakan Sembawa
: Palembang.
Achmadi, J. 2010. Pengembangan Pakan Ternak Ruminansia : Menggagas Lumbung Pakan Berbasis Hasil Samping Tanaman Pangan. Disampaikan pada Apresiasi Budidaya Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Yogyakarta. 14 - 15 Desember 2010.
Arif, R. 2001. Pengaruh Penggunaan Jerami Pada Amoniasi Terhadap Daya Cerna NDF dan ADF Dalam Ransum Domba Lokal. Jurnal Agroland Vol. 2 : 208-215.
Axe, D. E. 1995. Factors Affecting Uniformity of a Milk. Mailinkrodt Feed Ingredients. Mundelain.
Bakti, Agus Setya. 2006. Pengering Pakan Pellet dengan Alat Pengering Buatan. Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006.
Cushnahsan, A.C, S. Mayne, E. A. Goodball, and E.F. Unsworth. 1996.” Effects Of Stage Of Maturity and Period Of Ensilage on Production and Utilization of Grass Silage By Dairy cows”. In: D.I.H. Jones, R. Jones, R. Dewshurts, R Merny, and P.M. Haigh (eds). Prosceeding of The 11th International Silage Conference, IGER Averystwyth: 78-79.
Darmono. 1993. Tatalaksana Usaha Sapi Kereman. Kanisius : Yogyakarta.
Daryanti, S. 2002. Respon Produksi Sapi Peranakan Ongole (PO) Terhadap Aras Pemberian Konsentrat Dan Pakan Basal Jerami Padi Fermentasi. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
Djajanegara, A. 1983. Tinjauan Ulang Mengenai Evaluasi Suplemen pada Jerami  Padi. Prosiding Seminar Pemanfaatan Limbah Pangan dan Limbah Pertanian  untuk Makanan Ternak. Lembaga Kimia Nasional LIPI. Bandung.
Dwiyanto, K. Dan B. Haryanto. 2002. Pakan Alternatif Untuk Pengembangan Peternakan Rakyat. Rakor Pengembangan Model Kawasan Agribisnis Jagung Ta 2002. Direktorat Jenderal Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian, Jakarta 29 April 2002.   
Fasina, O. O. & S. Sokhansanj. 1993. Effect of moisture content on bullhandling properties of alfalfa pellets. Canadian Agric. Engine. 35 (4): 269-279 (Abstr.).
Hardianto. R,. 2000.” Teknologi Complete Feed Sebagai Alternatif Pakan Ternak Ruminansia”. Makalah BPTP Jawa Timur. Malang.
Herdian, Hendra. Dkk. 2006. Pengaruh Proses Pelleting Terhadap
Peningkatan Kualitas Pakan Ternak Ruminansia
. Upt Balai
Pengembangan Proses Dan Teknologi Kimia-Lipi : Yogyakarta.
Kamal, M. 1998. Bahan Pakan dan Ransum Ternak. Laboratorium Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Khalil. 1997. Pengolahan Sumberdaya Pakan dan Ransum Ternak. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kling, M and W. Woehlbier. 1983. Handelsfuttermittel, Barat 2A. Verlag Eugen Ulmer, Sttutgar.
Krisnan, Rentan dan Ginting, S.P. 2009.” Penggunaan Solid Ex-decanter sebagai perekat pembuatan pakan komplit berbentuk pelet : Evaluasi fisik pakan komplit berbentuk pellet. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009.
Komar, A. 1984. Teknologi Pengolahan Jerami sebagai Makanan Ternak. Yayasan Dian Grahita. Jakarta.
Lamid, Mirni. 2010. Konsentrasi VFA Dan Proporsi Molar Asetat, Propionat, Butirat Rumen Sapi Peranakan Ongole Yang Diberi Jerami Padi Amoniasi, Jerami Kedelai Dan Jerami Padi. Veterinaria medika Vol.3 No.3. Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR. Diunduh Tanggal: 11 Maret 2014 Pukul: 19.52 WIB.
Lubis. 1993. Ilmu Makanan Ternak.IPB : Bogor.
Mariyono dan E. Romjali. 2007. Petunjuk Teknis Teknologi Inovasi ‘Pakan Murah’ untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Loka Penelitian Sapi Potong, Grati.
Maryati, B. A. 2008.  Beternak Sapi Potong.  Kanisius.  Yogyakarta.
Mujnisa, A. 2007. Uji sifat fisik jagung giling pada berbagai ukuran partikel. Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak, 6(1): 1-9.
Negara, M. H. P. 2001. Uji Sifat Fisik Bentuk Ransum Ayam Broiler Yang Berbeda pada Lama Penyimpanan Enam Minggu. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Nevy, Hanafi D. 2008. Teknologi Pengawetan Pakan Ternak. USU Respository : Medan.
Nista, Delly,dkk. 2007. Teknologi Pengolahan Pakan. BPTU. Palembang .
Patrick dan schaible. 1980. Silase Technology, A trainer Manual. PODF for The Asia and The Pacific. Inc. 15-24.
Purbowati, E, C.I. Sutrisno, E. Baliarti , S.P.S. Budhi, dan W. Lestariana. 2008. “Pemanfaatan Energi Pakan KomplitBerkadar Protein-Energi Berbeda Pada Domba Lokal Jantan Yang Digemukkan Secara Feedlot”. J.Indon.Trop.Anim.Agric. 33 [1]  Universitas Diponegoro, Semarang.
Qomariyah, Novia. 2004. “Uji Derajat Keasaman (PH), Kelarutan, Kerapatan dan Sudut Tumpukan untuk Mengetahui Kualitas Bahan Pakan Sumber Protein”. Skripsi. IPB : Bogor.
Ramli, N. 2000. Design model pabrik silase terpadu serta evaluasi terhadap kualitas Produknya. tahun ke-2 : kajian kualitas tepung bakteri asam laktat terkapsulasi dan tepung garam asam organik dari pabrik silase terpadu. http://www.lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.  diakses tanggal 1 juni 2014
Retnani, Yuli, dkk. 2011. Uji Fisik Rnsum Ayam Broiler Bentuk Peleet yang ditambahkan Perekat Onggok Melalui Proses Penyimpanan Air. Jurnal Agripet Vol. 10. No. 10, April 2010.
Rukmana, Rahmat. 2001. Silase dan Permen Ternak Ruminansia.
Kanisius
: Yogyakarta.
Saenab, Andi. Dkk. 2010. Evaluasi Kualitas Pelet Ransum Komplit Yang Mengandung Produk Samping Udang. Jurnal ITV. Vol. 15. No. 1. Fakultas Universitas Gorontalo.
Schlegal, H.G Schmidt, K. 1994. Allgemaine Mikrobiologie atau Mikrobiologi Umum. Terjemahan Baskoro. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Shiddieqy, M. Ikhsan . 2005. Pakan Ternak Jerami Olahan .Mahasiswa Departemen Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Unpad. Bandung.
Soedjana, Tjeppy D, Dkk. 2003. “Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian”. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. ISSN 0216-4427. Vol. 25 No.3
Soejono, M. 1987. Pengaruh lama peram pada amoniasi jerami padi terhadap kecernaan in vivo. Prosiding Limbah Pertanian Sebagai Pakan dan Manfaat Lainnya. Editor M Soejono, dkk. Bioconversion Project Second Workshop. Grati.
Sofyan A. Dkk. 2007. Pakan Ternak Dengan Silase. Majalah Inovasi. Edisi 5 Desember 2007.
Suparjo, Ir. 2008. Pengawasan Mutu Pada Pabrik Pakan Ternak.
Laboratorium Makanan Ternak. Universitas Negeri Jam
bi.
Suryanagara, Pramadita. 2006. “Uji Kadar Air dan Ketahanan Benturan Ransum Komplit Domba Bentuk Pelet Menggunakan Daun Kelapa Sawit sebagai Substitusi Hijauan. Skripsi: 1-28. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sutardi T. R. 2003. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. UNSOED. Purwokerto.
Sutardi.T. 2012. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fak. Pertanian IPB. Bogor.
Sutrisno, C.I., B. Sulistyanto, Nurwantoro, Sri Mukodiningsih, Tristiarti, S. Widiati, Surahmanto, A.G. Sumantri, Nisyamsuri, Wiluto, dan Alidjabidi. 1988.” Peningkatan Kualitas Jerami Padi sebagai Pakan Ternak”. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Tahun I/1 Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. Semarang.
Syarifudin, U.H. 2001. Pengaruh penggunaan tepung gaplek sebagai perekat terhadap sifat fisik ransum broiler bentuk crumble. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tannenbaum. S.R. and D.LC. Wang. 1975. Single-cell Protein IT. London: The Massachussetts Institute of Technology Press.
Teguh. 2012. Pembuatan Complete Feed Pakan Komplit Untuk Ruminansia. http://teguhpamuji.wordpress.com/2012/04/24/pembuatan-complete-feed-pakan-komplit-untuk-ternak-ruminansia/. Diakses tanggal 1 juni 2014.
Thompson, F. M. 1993. Hand Book of Powders Science and Technology 391, 393, eds, M. E. Fayed and L. Otten. New York
Tjokrokoesoemo, P. S. 1989. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. PT. Gramedia. Jakarta.
Walker. H.G. and G.O.Kohler, 1978. Treated and Untreated Cellulosic Wastesand Animal Feeds. Recents Work interaksi the United States of America.
Winarno. F.G. dan S. Fardiaz. 1980. Biofermentasi clan Biosintesa Protein. Angkasa. Bandung.
Zain, Subhan. 2008.” Pengaruh Penambahan Air Panas dan Perekat Bentonit terhadap Sifat Fisik Ransum Broiler Starter Bentuk Crumble. Skripsi: 1-35. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.